Normal view

Received — 1 December 2025 Crypto News & Update

Perdagangan Crypto Yen Carry Sudah Berakhir? Jepang Sinyal Naikkan Suku Bunga

1 December 2025 at 13:04

Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor 2 tahun melonjak menjadi 1% pada 1 Desember, tertinggi sejak 2008. Gubernur Bank of Japan Kazuo Ueda mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga pada pertemuan kebijakan moneter 18-19 Desember, membawa dampak besar ke pasar keuangan global.

Perkembangan ini bisa menjadi akhir dari tiga dekade suku bunga ultra-rendah yang mendukung perdagangan yen carry. Seiring biaya pinjaman naik dan yen menguat, pasar global kini bersiap menghadapi deleveraging signifikan di berbagai kelas aset.

Imbal Hasil Obligasi Naik Seiring Ekspektasi Kenaikan Suku Bunga Meningkat

Pasar obligasi Jepang bergerak tajam mengikuti pernyataan terbaru Ueda. Imbal hasil obligasi bertenor 2 tahun naik satu basis poin menjadi 1%. Obligasi bertenor lebih panjang juga mengalami kenaikan: imbal hasil lima tahun naik sekitar empat basis poin menjadi 1,35%, dan imbal hasil 10 tahun naik menjadi 1,845%, menurut data Bloomberg.

Selama perdagangan, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun mencapai 1,850%, level tertinggi sejak Juni 2008. Tingginya selama 17 tahun ini menyoroti keyakinan pasar bahwa BOJ akan mengetatkan kebijakan segera. Perubahan dalam imbal hasil ini mencerminkan perubahan cepat dalam sentimen investor tentang langkah selanjutnya dari bank sentral.

Sumber: investing.com

Pasar merespons dengan cepat. Yen naik sebanyak 0,4% terhadap dolar, diperdagangkan pada 155,49 pada 1 Desember. Pembalikan ini dari level November mencerminkan meningkatnya ekspektasi kenaikan suku bunga Jepang yang membuat aset yen menjadi lebih menarik.

Pada sebuah pertemuan bisnis di Nagoya, Ueda menyatakan bahwa berkurangnya ketidakpastian seputar ekonomi AS dan tarif meningkatkan kepercayaan terhadap prospek ekonomi dan harga Jepang. Dia menegaskan kembali bahwa perubahan suku bunga yang tepat waktu adalah kunci untuk stabilitas keuangan dan pencapaian target inflasi 2%.

Inflasi dan Kebijakan Fiskal Dorong Pergeseran Menuju Pengetatan

Kebijakan fiskal expansif pemerintah menambah tekanan inflasi, membangun alasan untuk pengetatan moneter. Depresiasi yen telah mengangkat harga impor, memicu inflasi konsumen dan menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan stabilitas harga. Gubernur Ueda menyoroti dampak meluas dari yen yang lebih lemah pada biaya impor dan memperingatkan bahwa ekspektasi tersebut dapat mempengaruhi inflasi inti.

Perkiraan pasar sekarang menunjukkan tingkat kebijakan BOJ dapat mencapai 1,4% setelah tiga kali kenaikan 25 basis poin dari tingkat saat ini 0,5%. Berdasarkan tingkat Overnight Indexed Swap dan tarif maju 1 tahun, ekspektasi jelas meningkat. Katsutoshi Inatome dari Mitsui Sumitomo Trust mengatakan bahwa kenaikan pada bulan Desember akan mendorong perkiraan tingkat di masa depan menjadi lebih tinggi.

BOJ menghadapi keseimbangan yang hati-hati. Sementara menaikkan suku bunga membantu mengatasi inflasi dan mendukung mata uang, ini bisa mengganggu arus keuangan yang mengandalkan pendanaan Jepang yang murah. Ueda menekankan bahwa setiap kenaikan akan diukur dengan cara yang akomodatif, bukan sebagai pemutusan tajam. Dia menambahkan bahwa kebijakan Jepang telah menghidupkan kembali sistem di mana upah dan harga dapat naik secara moderat.

Pasar Global Bereaksi Saat Yen Carry Trade Hampir Berakhir

Pembatalan yen carry trade yang mungkin menandai perubahan signifikan bagi keuangan global. Selama 30 tahun, investor meminjam yen dengan suku bunga rendah untuk mencari pengembalian yang lebih tinggi di tempat lain, mendukung harga aset dari saham AS hingga obligasi pasar berkembang. Ini memberikan leverage yang memicu banyak reli pasar.

Seiring naiknya suku bunga Jepang, ekonomi perdagangan carry berubah. Peminjam yang mengunci pendanaan 1% dengan yen yang stabil kini menghadapi pembayaran kembali pada 3% dan mata uang yang telah menguat 10%. Ini meningkatkan biaya pinjaman efektif menjadi sekitar 13%, membuat perdagangan tersebut jauh kurang menarik. Kejatuhan pasar kilat di bulan Agustus 2024 memberikan gambaran tentang gejolak yang dapat terjadi ketika posisi perdagangan carry berakhir dengan cepat.

“Selama 30 tahun, Yen Carry Trade menyediakan subsidi bagi keangkuhan global — suku bunga nol… leverage gratis… pertumbuhan palsu… seluruh ekonomi dibangun dengan waktu dan uang pinjaman. Kini Jepang telah membalikkan sakelar. Suku bunga naik. Yen menguat. Dan ATM favorit dunia baru saja berubah menjadi penagih utang.” – AlgoBoffin

Nikkei 225 jatuh 1,88% saat deleveraging dimulai, dan analis memperingatkan bahwa ini bisa memulai siklus penjualan aset paksa. Ketika pembiayaan yen murah menghilang, pasar harus mengandalkan kekuatan fundamental daripada leverage. Dampaknya meluas melampaui Jepang, mempengaruhi pusat keuangan seperti Wall Street dan Shanghai yang mendapatkan manfaat dari likuiditas yang didorong yen.

Pasar mata uang kripto terutama rentan terhadap likuiditas global yang lebih ketat. Bitcoin dan aset digital lainnya merespons dengan tajam terhadap perubahan pendanaan. Biasanya, aset risiko menyerap gelombang pertama volatilitas saat likuiditas mengering, yang berpotensi menyebabkan pergerakan tajam dalam valuasi kripto.

These **three charts together (Japan 10Y + Silver + Bitcoin)** are telling one of the **clearest macro stories of our lifetime**.

## **1️⃣ Japan 10-Year Yield (The Beginning of the End of “Free Money”)**

For 30+ years, Japan kept interest rates near **zero**.
This created the… pic.twitter.com/JBIOu3SrwS

— ajay patel (@ajaycan) December 1, 2025

Beberapa analis berpendapat bahwa transisi ini mengungkapkan dinamika pasar yang mendasar yang telah tertutupi oleh bertahun-tahun kebijakan moneter longgar. Seiring likuiditas mengetat dan suku bunga normal, harga aset mungkin dinilai lebih pada nilai intrinsiknya daripada pendanaan murah. Pergeseran ini bisa menguntungkan beberapa komoditas dan aset keras, tapi menantang sektor pertumbuhan yang berkembang dengan suku bunga ultra-rendah.

Minggu-minggu mendatang sangat penting saat BOJ mempertimbangkan keputusan Desembernya. Pasar siap untuk pengetatan, tetapi kecepatannya belum diketahui. Apakah Jepang memilih kenaikan suku bunga secara bertahap atau lebih tajam akan membentuk seberapa cepat dan parahnya deleveraging global berlangsung. Era uang Jepang gratis sepertinya berakhir, membuka periode volatilitas lebih tinggi dan pengawasan lebih ketat atas fundamental pasar di seluruh dunia.

Yen Carry Crypto Trading Over? Japan Signals Rate Hike

1 December 2025 at 13:04

Japan’s 2-year government bond yield surged to 1% on December 1, its highest since 2008. Bank of Japan Governor Kazuo Ueda signaled a possible interest rate hike at the December 18-19 monetary policy meeting, sending ripples through global financial markets.

This development could mark the end of three decades of ultra-low interest rates that fueled the yen carry trade. As borrowing costs rise and the yen strengthens, global markets now brace for significant deleveraging across asset classes.

Bond Yields Climb as Rate Hike Expectations Grow

Japan’s bond market moved sharply following Ueda’s recent statements. The 2-year note yield rose by one basis point to 1%. Longer-dated bonds also saw gains: five-year yields rose about four basis points to 1.35%, and 10-year yields climbed to 1.845%, according to Bloomberg data.

During trading, 10-year government bond yields reached 1.850%, their highest level since June 2008. This 17-year high highlights market belief that the BOJ will tighten policy soon. The shift in yields underscores the rapid change in investor sentiment on the central bank’s next move.

Source: investing.com

Markets responded quickly. The yen gained as much as 0.4% against the dollar, trading at 155.49 on December 1. This reversal from November’s levels reflects growing expectations of higher Japanese interest rates, which are making yen assets newly attractive.

At a business meeting in Nagoya, Ueda stated that reduced uncertainty around the US economy and tariffs bolstered confidence in Japan’s economic and price outlook. He reaffirmed that timely rate changes are key for financial stability and meeting the 2% inflation target.

Inflation and Fiscal Policy Drive Shift Toward Tightening

The government’s expansionary fiscal policy has added to inflation pressures, building a case for monetary tightening. Yen depreciation has lifted import prices, fueling consumer inflation and raising questions about the sustainability of price stability. Governor Ueda highlighted the growing impact of a weaker yen on import costs and warned that expectations could affect core inflation.

Market forecasts now suggest the BOJ’s policy rate could reach 1.4% following three 25-basis-point hikes from the current 0.5% rate. Based on Overnight Indexed Swap rates and 1-year forward rates, expectations are clearly rising. Katsutoshi Inatome of Mitsui Sumitomo Trust said that a hike in December would push future rate estimates even higher.

The BOJ faces a careful balance. While lifting rates tackles inflation and supports the currency, it could disrupt financial flows that have relied on cheap Japanese funding. Ueda emphasized that any hike would be measured in an accommodative manner, not as a sharp break. He added that Japanese policy has revived a system where both wages and prices can rise moderately.

Global Markets React as Yen Carry Trade Nears End

The possible unwinding of the yen carry trade marks a significant change for global finance. For 30 years, investors borrowed yen at low rates to seek higher returns elsewhere, supporting asset prices from US stocks to emerging market bonds. This provided leverage that fueled many market rallies.

As Japanese rates climb, the economics of the carry trade shift. Borrowers who locked in 1% funding with a stable yen now face repayment at 3% and a currency that has appreciated by 10%. This raises the effective borrowing cost to around 13%, making such trades far less attractive. The August 2024 flash crash previewed the turmoil that can occur when carry trade positions unwind quickly.

“For 30 years, the Yen Carry Trade subsidized global arrogance — zero rates… free leverage… fake growth… entire economies built on borrowed time and borrowed money. Now Japan has reversed the switch. Rates climbed. Yen strengthened. And the world’s favourite ATM just turned into a debt-collector.” – AlgoBoffin

The Nikkei 225 fell 1.88% as deleveraging began, and analysts warn that this could start a cycle of forced asset sales. When cheap yen financing vanishes, markets must rely on fundamental strength instead of leverage. The ripples stretch beyond Japan, impacting financial hubs like Wall Street and Shanghai that benefited from yen-driven liquidity.

Cryptocurrency markets are especially vulnerable to tighter global liquidity. Bitcoin and other digital assets respond sharply to changes in funding. Typically, risk assets absorb the first wave of volatility when liquidity dries up, potentially causing swings in crypto valuations.

These **three charts together (Japan 10Y + Silver + Bitcoin)** are telling one of the **clearest macro stories of our lifetime**.

## **1️⃣ Japan 10-Year Yield (The Beginning of the End of “Free Money”)**

For 30+ years, Japan kept interest rates near **zero**.
This created the… pic.twitter.com/JBIOu3SrwS

— ajay patel (@ajaycan) December 1, 2025

Some analysts argue that this transition exposes underlying market dynamics that have been masked by years of loose monetary policy. As liquidity tightens and rates normalize, asset prices may be judged more on intrinsic value than on cheap financing. This shift could benefit some commodities and hard assets, but challenge growth sectors that flourished with ultra-low rates.

The coming weeks are pivotal as the BOJ considers its December decision. Markets are set for tightening, but the exact pace is unknown. Whether Japan chooses gradual or sharper rate increases will shape how quickly and severely global deleveraging unfolds. The era of free Japanese money seems to be ending, ushering in a period of higher volatility and greater scrutiny of market fundamentals worldwide.

The post Yen Carry Crypto Trading Over? Japan Signals Rate Hike appeared first on BeInCrypto.

Bitcoin Dips Below $87K: One Week’s Gains Gone in One Candle

1 December 2025 at 10:22

Bitcoin briefly plunged below $87,000, wiping out a week’s gains in one session.

The fast selloff triggered $400 million in liquidations within just 60 minutes and pushed the global crypto market capitalization down 4% to $3.04 trillion. Trading activity surged as both retail and institutional investors reacted swiftly to price pressure.

Market Turmoil Sparks Massive Liquidations

Liquidations surged across leveraged positions, reflecting the speed of the downturn. Market data noted $400 million liquidated in just one hour. This rapid wave of losses highlights the risks for traders during sharp price moves.

BREAKING: Bitcoin falls -$4,000 in 2 hours as mass liquidations return.

$400 million worth of levered longs have been liquidated over the last 60 minutes. pic.twitter.com/qKB7MYJapu

— The Kobeissi Letter (@KobeissiLetter) December 1, 2025

Trading volume spiked to over $110 billion as investors adjusted their holdings. Bitcoin’s dominance stood at 57.1%, while Ethereum held 11.3%, according to CoinGecko data.

The Kobeissi Letter attributed the crash to thin weekend liquidity and record-high leverage, saying, “This crypto bear market is still structural in nature. We do NOT view this as a fundamental decline.” The analyst noted that Bitcoin fell $4,000 in minutes with no news. This triggered a domino-effect selloff amplified by mass liquidations of leveraged positions.

Other analysts have warned that Bitcoin’s price pattern resembles earlier bearish cycles. Following a recovery above $90,000 after a drop on November 20, Bitcoin hovered around $91,208.85 on November 28 and maintained support at $90,000 for six days.

Korbot Labs describes that the current price action echoes April 2024, when Bitcoin bounced back above $70,000 only to drop to $57,000 by May and later to $67,000 by June. This pattern suggests that further sideways movement or another correction is possible.

Another analyst cautioned about the risk of deeper losses, noting that a “wipe out” could occur if Bitcoin falls through the $80,000 support level.

“Bitcoin not a good open to start the week! Much closer to becoming 2-1-2d as a measured move. This tends to cause a ‘wipe out’ type move if we successfully break through 80.00. Could see as low as 48k if we see the sellers stick around into the end of this year.”

Technical analysis also points to crucial support zones. Should selling persist, prices could slip much further. A drop to $48,000 would mark a dramatic 45% decline from current levels, but such a move would likely require sustained bearish sentiment.

Asset Rotation Narrative Shapes Sentiment

Some analysts see Bitcoin’s selloff as part of a broader shift in asset allocation. The move came as traditional safe-haven assets like precious metals outperformed. This suggests some investors are reconsidering their risk exposure.

Source: silverprice.org

This argument states that capital is flowing from digital assets to “hard money” alternatives. Silver, for example, surged even as Bitcoin fell. Some analysts see this as a sign of changing investor preferences.

“While #Bitcoin just erased most of the last week gain in a single candle, #Silver is breaking out vertically like there’s no tomorrow. Money is choosing real assets over speculative assets. The rotation is screaming loud: Paper wealth → Hard money, Digital risk → Monetary metals” – Macrobysunil

This theory remains hotly debated. Bitcoin has repeatedly rebounded from steep selloffs. Its 57.1% market dominance shows it still attracts most digital asset flows, despite volatility.

Meanwhile, on the first day of December, Bitcoin briefly dipped below $87,000 before quickly recovering. At the time of writing, Bitcoin is trading in the $87,200–$87,400 range, with market participants closely watching whether the $87,000 support level will hold.

The post Bitcoin Dips Below $87K: One Week’s Gains Gone in One Candle appeared first on BeInCrypto.

What Do Saylor’s Green Dots Mean? Secret Trigger?

1 December 2025 at 08:11

MicroStrategy Chairman Michael Saylor’s cryptic post, “What if we start adding green dots?” to his well-known Bitcoin accumulation chart, has fueled widespread speculation across crypto circles.

The signal emerges just as CEO Phong Le publicly acknowledged, for the first time, that the company may sell Bitcoin under certain stress conditions. This dual narrative could mark a turning point for the corporate world’s most aggressive Bitcoin treasury strategy.

Decoding the Green Dots Mystery

Saylor’s Sunday post on X displayed the company’s Bitcoin portfolio chart. It outlined 87 purchase events totaling 649,870 BTC, valued at $59.45 billion, with an average cost of $74,433 per Bitcoin. Orange dots mark each acquisition since August 2020, while a dashed green line shows the average purchase price.

What if we start adding green dots? pic.twitter.com/a19bD33KzD

— Michael Saylor (@saylor) November 30, 2025

The crypto community quickly interpreted the green dots as a signal for accelerated Bitcoin purchases. One analyst summarized the bullish case, noting MicroStrategy has capital, conviction, substantial net asset value, and cash flow to support continued acquisitions. However, some offered alternative theories, including the possibility of stock buybacks or asset restructuring.

This ambiguity reflects Saylor’s history of cryptic messages. Supporters view his posts as deliberate signals of strategy, while skeptics question if they are merely for engagement. Still, the timing of this signal, along with financial disclosures, points to more than mere commentary.

First Admission: Bitcoin Sales Remain an Option

In a significant shift from MicroStrategy’s “never sell” philosophy, CEO Phong Le publicly admitted the company may sell Bitcoin if certain crisis conditions arise. MicroStrategy would consider a sale only if two triggers occur: the stock trades below 1x modified Net Asset Value (mNAV) and the company cannot raise new capital through equity or debt.

People don’t realize how big this is:

1. Strategy has capital

2. conviction is unchanged

3. NAV is strong

4. cash flow supports buys

5. demand could spike

"A Saylor signal is never random."

— George (@ScrewiexD) November 30, 2025

Modified Net Asset Value measures the company’s enterprise value divided by its Bitcoin holdings. As of November 30, 2025, the mNAV was near 0.95, close to the threshold. If it drops below 0.9, MicroStrategy could be pressured to liquidate Bitcoin to meet its $750 to $800 million annual preferred share dividend obligations.

The company issued perpetual preferred stock throughout 2025 to fund Bitcoin acquisitions. According to official press releases, the 8.00% Series A Perpetual Strike Preferred Stock requires quarterly dividends starting on March 31, 2025. These ongoing obligations add new liquidity pressure, especially as equity markets become less receptive to new issuances.

This policy change introduces a measurable risk threshold. Analysts now consider MicroStrategy much like a leveraged Bitcoin ETF: benefiting from appreciation in bull markets, but exposed to amplified risks when liquidity tightens.

Bitcoin Price Movement and Strategic Implications

Bitcoin’s recent price movement adds essential context to both Saylor’s message and Le’s admission.

MicroStrategy’s portfolio showed a 22.91% gain ($11.08 billion) as of November 30, 2025, bringing its valuation to $59.45 billion. However, its stock declined by more than 60% from recent highs, revealing a gap between Bitcoin gains and shareholder returns. This gap impacts the mNAV calculation and raises questions about the strategy’s sustainability.

green dots = more btc acquisitions. microstrategy proved treasury strategy works in bull markets. real test is holding through -80% drawdowns without forced liquidation. conviction has a price denominated in shareholder patience

— João Alcantara (@joaonalcantara) November 30, 2025

Some community members acknowledge this tension. One observer commented on X that green dots may suggest more Bitcoin acquisitions, but the key issue is whether MicroStrategy can hold through deep drawdowns without forced liquidation. This underscores the strategy’s challenge: strong in bull markets but unproven in downturns.

According to the company’s third-quarter 2025 financial results, it held roughly 640,808 bitcoins as of October 26, 2025, with an original cost basis of $47.4 billion. The subsequent growth to 649,870 BTC by November 30 highlights ongoing accumulation despite volatility.

The post What Do Saylor’s Green Dots Mean? Secret Trigger? appeared first on BeInCrypto.

Bitcoin (BTC) Crash di Bawah US$87.000, Hasil Cuan Sepekan Lenyap Seketika

1 December 2025 at 16:05

Bitcoin sempat amblas di bawah US$87.000, menghapus raihan profit selama satu minggu dalam satu sesi.

Aksi jual cepat tersebut memicu likuidasi sebesar US$400 juta hanya dalam 60 menit dan menyeret kapitalisasi pasar kripto global turun 4% menjadi US$3,04 triliun. Aktivitas trading melesat ketika investor ritel dan institusi bereaksi cepat terhadap tekanan harga.

Gejolak Pasar Picu Likuidasi Massal

Likuidasi melonjak di seluruh posisi leverage, mencerminkan kecepatan crash tersebut. Data pasar mencatat US$400 juta tersapu likuidasi hanya dalam satu jam. Gelombang kerugian yang cepat ini menyoroti risiko bagi trader selama pergerakan harga tajam.

BREAKING: Bitcoin falls -$4,000 in 2 hours as mass liquidations return.

$400 million worth of levered longs have been liquidated over the last 60 minutes. pic.twitter.com/qKB7MYJapu

— The Kobeissi Letter (@KobeissiLetter) December 1, 2025

Volume perdagangan meningkat hingga lebih dari US$110 miliar ketika investor menyesuaikan portofolio mereka. Bitcoin Dominance bertengger di 57,1%, sementara Ethereum berada di 11,3%, menurut data CoinGecko.

The Kobeissi Letter menghubungkan crash ini dengan likuiditas akhir pekan yang tipis dan leverage yang mencapai rekor tertinggi, dengan mengatakan, “Bear market kripto ini masih bersifat struktural pada dasarnya. Kami TIDAK melihat ini sebagai penurunan fundamental”. Sang analis mencatat bahwa Bitcoin turun US$4.000 dalam hitungan menit tanpa adanya berita apa pun. Hal ini lantas memantik efek domino aksi jual yang diperkuat oleh likuidasi massal dari posisi leverage.

Analis lainnya telah memperingatkan bahwa pola harga Bitcoin menyerupai siklus bearish sebelumnya. Setelah pulih di atas US$90.000 pasca crash pada 20 November, Bitcoin berada di sekitar US$91.208,85 pada 28 November dan mempertahankan support di US$90.000 selama enam hari.

Korbot Labs menggambarkan bahwa aksi harga saat ini mencerminkan April 2024, ketika Bitcoin rebound di atas US$70.000 hanya untuk turun ke US$57.000 pada Mei dan kemudian ke US$67.000 pada Juni. Pola ini menunjukkan bahwa pergerakan sideways lebih lanjut ataupun koreksi berikutnya bisa saja terjadi.

Seorang analis lain memperingatkan soal risiko kerugian yang lebih dalam, mencatat bahwa “wipe out” bisa terjadi jika Bitcoin jatuh menjebol level support US$80.000.

“Bitcoin memulai minggu dengan buruk. Polanya kini semakin dekat membentuk struktur 2-1-2d sebagai gerakan terukur. Pola ini biasanya memicu aksi ‘wipe out’ jika support 80.00 jebol. Harga bisa merosot hingga 48k apabila tekanan jual terus berlanjut hingga akhir tahun.”

Analisis teknikal juga menunjukkan zona support krusial. Jika aksi jual berlanjut, harga bisa turun jauh lebih dalam. Drop ke US$48.000 akan menandai penurunan drastis 45% dari level saat ini, tetapi langkah seperti itu kemungkinan memerlukan sentimen bearish yang berkelanjutan.

Narasi Rotasi Aset Membentuk Sentimen

Beberapa analis memandang aksi jual Bitcoin sebagai bagian dari perubahan alokasi aset yang lebih luas. Pergerakan tersebut terjadi ketika aset safe-haven tradisional seperti logam mulia mencatat performa unggul. Ini menunjukkan bahwa sebagian investor sedang menilai ulang eksposur risiko mereka.

Sumber: silverprice.org

Argumen ini menyatakan bahwa modal mengalir keluar dari aset digital menuju alternatif “hard money”. Contohnya, perak melonjak ketika Bitcoin jatuh. Beberapa analis melihat ini sebagai tanda perubahan preferensi investor.

“Ketika #Bitcoin baru saja menghapus hampir seluruh kenaikan minggu lalu dalam satu candle, #Perak menembus naik secara vertikal seolah tidak ada hari esok. Uang kini memilih aset nyata dibanding aset spekulatif. Rotasinya terdengar sangat jelas: Kekayaan berbasis kertas → Hard money, Risiko digital → Logam moneter.” — Macrobysunil

Teori ini masih diperdebatkan dengan panas. Bitcoin sendiri sudah berkali-kali rebound dari aksi jual tajam. Bitcoin Dominance di 57,1% menunjukkan bahwa Bitcoin masih menarik mayoritas arus modal aset digital meski volatilitas tinggi.

Sementara itu, pada hari pertama bulan Desember, Bitcoin sempat turun di bawah US$87.000 sebelum pulih cepat. Pada waktu publikasi, Bitcoin parkir di kisaran US$87.200–US$87.400, dengan pelaku pasar mengamati apakah level support US$87.000 akan bertahan.

Bagaimana pendapat Anda tentang crash harga Bitcoin (BTC) ke bawah US$87K serta prediksi ke depan? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!

Apa Makna “Green Dots” Saylor? Pemicu Rahasia?

1 December 2025 at 15:33

Postingan misterius Chairman MicroStrategy Michael Saylor, “Bagaimana jika kita mulai menambahkan titik hijau?” pada grafik akumulasi Bitcoin terkenal miliknya, telah memicu spekulasi luas di komunitas kripto.

Sinyal ini muncul tepat ketika CEO Phong Le secara publik mengakui, untuk pertama kalinya, bahwa perusahaan mungkin saja suatu saat menjual Bitcoin dalam kondisi stres tertentu. Narasi ganda ini bisa menandai titik balik bagi strategi treasury Bitcoin korporasi paling agresif di dunia.

Memecahkan Misteri Green Dots

Posting Saylor pada hari Minggu di X menampilkan grafik portofolio Bitcoin perusahaan. Grafik tersebut menunjukkan 87 event pembelian dengan total 649.870 BTC, bernilai US$59,45 miliar, dengan rata-rata biaya US$74.433 per Bitcoin. Titik oranye menandai setiap akuisisi sejak Agustus 2020, sementara garis putus-putus hijau menunjukkan rata-rata harga pembelian.

What if we start adding green dots? pic.twitter.com/a19bD33KzD

— Michael Saylor (@saylor) November 30, 2025

Komunitas kripto dengan tangkas menafsirkan titik hijau sebagai sinyal percepatan pembelian Bitcoin. Seorang analis merangkum argumen bullish tersebut, mencatat bahwa MicroStrategy memiliki modal, keyakinan, nilai aset bersih substansial, dan arus kas untuk mendukung akumulasi berlanjut. Namun, beberapa pihak menawarkan teori alternatif, termasuk kemungkinan buyback saham atau restrukturisasi aset.

Ambiguitas ini mencerminkan sejarah Saylor dengan pesan simbolis. Para pendukung melihat posting-nya sebagai sinyal strategi yang disengaja, sementara kalangan skeptis bertanya-tanya apakah itu hanya untuk engagement. Tetap saja, timing sinyal ini, bersama dengan pengungkapan finansial, menunjukkan lebih dari sekadar komentar biasa.

Pengakuan Pertama: Penjualan Bitcoin Tetap Menjadi Opsi

Dalam perubahan signifikan dari filosofi “never sell” milik MicroStrategy, CEO Phong Le secara publik mengakui bahwa perusahaan berpeluang menjual Bitcoin jika kondisi krisis tertentu muncul. MicroStrategy akan mempertimbangkan penjualan hanya jika dua pemicu terjadi: saham diperdagangkan di bawah 1x modified Net Asset Value (mNAV) dan perusahaan tidak dapat menggalang modal baru melalui penerbitan ekuitas atau utang.

People don’t realize how big this is:

1. Strategy has capital

2. conviction is unchanged

3. NAV is strong

4. cash flow supports buys

5. demand could spike

"A Saylor signal is never random."

— George (@ScrewiexD) November 30, 2025

Adapun Modified Net Asset Value sendiri mengukur nilai enterprise perusahaan dibagi dengan kepemilikan Bitcoin-nya. Per 30 November 2025, mNAV berada dekat 0,95, mendekati ambang batas. Jika turun di bawah 0,9, MicroStrategy bisa didorong untuk melikuidasi Bitcoin guna memenuhi kewajiban dividen saham preferen tahunan sebesar US$750 juta hingga US$800 juta.

Perusahaan menerbitkan saham preferen perpetual sepanjang tahun 2025 untuk mendanai akuisisi Bitcoin. Menurut siaran pers resmi, 8.00% Series A Perpetual Strike Preferred Stock membutuhkan pembayaran dividen kuartalan mulai 31 Maret 2025. Kewajiban yang berkelanjutan ini menambah tekanan likuiditas, terutama ketika pasar ekuitas semakin kurang bersedia menerima penerbitan baru.

Perubahan kebijakan ini memperkenalkan ambang risiko yang dapat diukur. Para analis kini melihat MicroStrategy layaknya ETF Bitcoin dengan leverage: diuntungkan saat pasar bullish, namun terekspos risiko besar saat likuiditas mengetat.

Pergerakan Harga Bitcoin dan Implikasi Strategis

Pergerakan harga Bitcoin baru-baru ini menambah konteks penting bagi pesan Saylor dan pengakuan Le.

Portofolio MicroStrategy menunjukkan kenaikan 22,91% (US$11,08 miliar) per 30 November 2025, membawa valuasi menuju US$59,45 miliar. Namun, saham perusahaan turun lebih dari 60% dari level tertinggi terbaru, mengungkap kesenjangan antara kenaikan Bitcoin dan return pemegang saham. Kesenjangan ini memengaruhi perhitungan mNAV dan menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan strategi.

green dots = more btc acquisitions. microstrategy proved treasury strategy works in bull markets. real test is holding through -80% drawdowns without forced liquidation. conviction has a price denominated in shareholder patience

— João Alcantara (@joaonalcantara) November 30, 2025

Beberapa anggota komunitas mengakui ketegangan ini. Seorang pengamat berkomentar di X bahwa green dots mungkin menandakan lebih banyak akuisisi Bitcoin, tetapi isu kunci adalah apakah MicroStrategy dapat bertahan melalui penurunan dalam tanpa dipaksa melakukan likuidasi. Hal ini menegaskan tantangan strategi: kuat dalam bull market, tetapi belum teruji dalam titik ekstrem bearish.

Menurut hasil keuangan kuartal ketiga 2025 perusahaan, MicroStrategy memegang sekitar 640.808 Bitcoin per 26 Oktober 2025, dengan basis biaya awal sebesar US$47,4 miliar. Pertumbuhan selanjutnya menjadi 649.870 BTC per 30 November menyoroti akumulasi yang berlanjut meski volatilitas tinggi.

Bagaimana pendapat Anda tentang rahasia di balik titik hijau Saylor di atas? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!

Pakar Lokal Sebut Peretasan Upbit Berasal dari Eksploitasi Matematika Tingkat Tinggi

29 November 2025 at 14:10

Seorang ahli dari Korea Selatan mengusulkan bahwa pelanggaran Upbit baru-baru ini mungkin berasal dari eksploitasi matematika tingkat tinggi yang menargetkan kelemahan dalam sistem penandatanganan atau sistem pembangkitan nomor acak di exchange tersebut.

Bukan karena kompromi wallet konvensional, serangan ini tampaknya memanfaatkan pola bias nonce halus yang tertanam dalam jutaan transaksi Solana—pendekatan yang memerlukan keahlian kriptografi tingkat lanjut dan sumber daya komputasi yang signifikan.

Analisis Teknikal dari Breakout

Pada hari Jumat, CEO Dunamu, operator Upbit, Kyoungsuk Oh, mengeluarkan permohonan maaf publik terkait insiden Upbit, mengakui bahwa perusahaan telah menemukan sebuah kelemahan keamanan yang memungkinkan penyerang untuk menyimpulkan private key dengan menganalisis sejumlah besar transaksi wallet Upbit yang terungkap di blockchain. Namun, pernyataannya langsung menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana private key bisa dicuri melalui data transaksi.

Hari berikutnya, Profesor Jaewoo Cho dari Universitas Hansung memberikan wawasan tentang pelanggaran tersebut, mengaitkannya dengan nonce yang bias atau dapat diprediksi dalam sistem penandatanganan internal Upbit. Bukan dari cacat ulang nonce ECDSA yang biasa, metode ini mengeksploitasi pola statistik halus dalam kriptografi platform. Cho menjelaskan bahwa penyerang dapat memeriksa jutaan tanda tangan yang bocor, menyimpulkan pola bias, dan akhirnya mendapatkan private key.

Perspektif ini sejalan dengan studi terbaru yang menunjukkan bahwa nonce ECDSA yang berhubungan secara afinis menciptakan risiko signifikan. Sebuah studi tahun 2025 di arXiv menunjukkan bahwa hanya dua tanda tangan dengan nonce yang berkaitan dapat mengungkapkan private key. Akibatnya, ekstraksi private key menjadi lebih mudah bagi penyerang yang dapat mengumpulkan dataset besar dari exchange.

Tingkat kecanggihan teknis ini menunjukkan bahwa kelompok terorganisir dengan keterampilan kriptografi tingkat lanjut melaksanakan eksploitasi ini. Menurut Cho, mengidentifikasi bias minimal di antara jutaan tanda tangan memerlukan tidak hanya keahlian matematika tetapi juga sumber daya komputasi yang luas.

Menanggapi insiden ini, Upbit memindahkan semua aset yang tersisa ke cold wallet yang aman dan menghentikan deposit serta penarikan aset digital. Exchange tersebut juga berjanji untuk mengembalikan kerugian dari cadangannya, memastikan pengendalian kerusakan segera.

Lingkup dan Implikasi Keamanan

Bukti dari seorang peneliti Korea menunjukkan bahwa peretas mendapatkan akses tidak hanya ke hot wallet exchange tetapi juga ke individual deposit wallet. Ini mungkin mengindikasikan kompromi pada kunci otoritas penarikan—atau bahkan private key itu sendiri—yang menandakan pelanggaran keamanan serius.

Peneliti lain menunjukkan bahwa, jika private key terungkap, Upbit mungkin dipaksa untuk secara komprehensif melakukan pembaruan sistem keamanannya, termasuk modul keamanan perangkat keras (HSM), komputasi multi-pihak (MPC), dan struktur wallet-nya. Skenario ini menimbulkan pertanyaan tentang kontrol internal, menunjukkan kemungkinan keterlibatan orang dalam dan menempatkan reputasi Upbit dalam risiko. Tingkat serangan ini menyoroti perlunya protokol keamanan yang kuat dan kontrol akses ketat di seluruh exchange utama.

Insiden ini mengilustrasikan bahwa bahkan sistem yang sangat dirancang pun dapat menyembunyikan kelemahan matematis. Pembangkitan nonce yang efektif harus memastikan kerandoman dan ketidakpastian. Bias yang terdeteksi menciptakan kerentanan yang bisa dieksploitasi penyerang. Penyerang terorganisir semakin mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan cacat ini.

Penelitian tentang perlindungan ECDSA menekankan bahwa kerandoman yang salah pada pembuatan nonce dapat membocorkan informasi kunci. Kasus Upbit menunjukkan bagaimana kerentanan teoretis dapat diterjemahkan menjadi kerugian nyata yang besar ketika penyerang memiliki keahlian dan motivasi untuk mengeksploitasinya.

Waktu dan Dampak Industri

Waktu serangan ini telah memicu spekulasi di kalangan komunitas. Ini terjadi tepat enam tahun setelah pelanggaran Upbit serupa di tahun 2019, yang dikaitkan dengan peretas Korea Utara. Selanjutnya, peretasan tersebut bertepatan dengan pengumuman merger besar yang melibatkan Naver Financial dan Dunamu, perusahaan induk Upbit.

Di dunia maya, beberapa teori konspirasi membicarakan tentang koordinasi atau pengetahuan orang dalam, sementara yang lain menyarankan serangan ini bisa menutupi motif lain, seperti penggelapan internal. Meskipun bukti teknis yang jelas menunjukkan penggodokan matematika yang kompleks menunjuk pada serangan yang sangat canggih oleh pelaku kejahatan siber, kritikus mengatakan pola ini masih mencerminkan kekhawatiran lama tentang exchange di Korea:

“Semua orang tahu exchange ini membantai trader ritel dengan melisting token yang meragukan dan membiarkannya mati tanpa likuiditas,” tulis seorang pengguna. Yang lain mencatat, “Dua exchange altcoin luar negeri baru-baru ini melakukan aksi serupa dan menghilang,” sementara yang lain menuduh perusahaan secara langsung: “Apakah ini hanya penggelapan internal dan menutup lubangnya dengan dana perusahaan?”

Kasus Upbit pada tahun 2019 menunjukkan bahwa entitas yang bersekutu dengan Korea Utara sebelumnya telah menargetkan exchange utama untuk menghindari sanksi melalui pencurian siber. Meskipun belum jelas apakah insiden saat ini melibatkan aktor yang disponsori negara, tingkat serangan yang maju ini tetap menjadi perhatian.

Upbit Hack Stemmed From High-Level Mathematical Exploit, Says Local Expert

29 November 2025 at 14:10

A South Korean expert has suggested that the recent Upbit breach may have originated from a high-level mathematical exploit targeting flaws in the exchange’s signature or random-number generation system.

Rather than a conventional wallet compromise, the attack appears to have leveraged subtle nonce-bias patterns embedded in millions of Solana transactions—an approach requiring advanced cryptographic expertise and significant computational resources.

Technical Analysis of the Breach

On Friday, Upbit operator Dunamu’s CEO Kyoungsuk Oh issued a public apology regarding the Upbit incident, acknowledging that the company had discovered a security flaw that allowed an attacker to infer private keys by analyzing a large number of Upbit wallet transactions exposed on the blockchain. His statement, however, raised immediate questions about how private keys could be stolen through transaction data.

The next day, Professor Jaewoo Cho of Hansung University provided insight into the breach, linking it to biased or predictable nonces within Upbit’s internal signing system. Rather than typical ECDSA nonce-reuse flaws, this method exploited subtle statistical patterns in the platform’s cryptography. Cho explained that attackers could examine millions of leaked signatures, infer bias patterns, and ultimately recover private keys.

This perspective aligns with recent studies showing that affinely related ECDSA nonces create a significant risk. A 2025 study on arXiv demonstrated that just two signatures with such related nonces can expose private keys. As a result, private key extraction becomes far easier for attackers who can gather large datasets from exchanges.

The level of technical sophistication suggests an organized group with advanced cryptographic skills conducted this exploit. According to Cho, identifying minimal bias across millions of signatures requires not only mathematical expertise but also extensive computational resources.

In response to the incident, Upbit moved all remaining assets to secure cold wallets and halted digital asset deposits and withdrawals. The exchange has also pledged to restore any losses from its reserves, ensuring immediate damage control.

Extent and Security Implications

Evidence from a Korean researcher indicates that hackers gained access not only to the exchange’s hot wallet but also to individual deposit wallets. This may point to the compromise of sweep-authority keys—or even the private keys themselves—signaling a grave security breach.

Another researcher points out that, if private keys were exposed, Upbit could be forced to comprehensively overhaul its security systems, including its hardware security modules (HSM), multi-party computation (MPC), and wallet structures. This scenario raises questions about internal controls, indicating possible insider involvement and placing Upbit’s reputation at risk. The extent of the attack highlights the need for robust security protocols and strict access controls across major exchanges.

The incident illustrates that even highly engineered systems can conceal mathematical weaknesses. Effective nonce generation must ensure randomness and unpredictability. Detectable bias creates vulnerabilities that attackers can exploit. Organized attackers are increasingly capable of identifying and leveraging these flaws.

Research into ECDSA safeguards stresses that faulty randomness in nonce creation can leak key information. The Upbit case shows how theoretical vulnerabilities can translate into major real-world losses when attackers have the expertise and motivation to exploit them.

Timing and Industry Impact

The attack’s timing has fueled community speculation. It occurred exactly six years after a comparable Upbit breach in 2019, which was attributed to North Korean hackers. Furthermore, the hack coincided with the announcement of a major merger involving Naver Financial and Dunamu, Upbit’s parent company.

Online, some conspiracy theories about coordination or insider knowledge, while others suggest the attack could mask other motives, such as internal embezzlement. Although the clear technical evidence of a complex mathematical exploit points to a highly advanced attack by cybercriminals, critics say the pattern still mirrors longstanding concerns about Korean exchanges:

“Everyone knows these exchanges massacre retail traders by listing questionable tokens and letting them die with no liquidity,” one user wrote. Others noted, “Two overseas altcoin exchanges recently pulled the same stunt and disappeared,” while another accused the company directly: “Is this just internal embezzlement and plugging the hole with company funds?”

The 2019 Upbit case showed that North Korea-aligned entities had previously targeted major exchanges to evade sanctions through cyber theft. Although it’s unclear if the current incident involved state-sponsored actors, the advanced nature of the attack remains concerning.

The post Upbit Hack Stemmed From High-Level Mathematical Exploit, Says Local Expert appeared first on BeInCrypto.

❌