Normal view

Received — 5 December 2025 Tech News & Update

Gawat! Praktik Keamanan Perusahaan AI Gagal Penuhi Standar Dunia

4 December 2025 at 18:55


Foto: r17.co.id

Teknologi.id - Di tengah euforia kemajuan kecerdasan buatan (AI) yang kini meresap ke hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari asisten virtual hingga pengambilan keputusan medis, sebuah studi terbaru mengungkap sisi gelapnya: protokol keselamatan perusahaan raksasa AI ternyata masih jauh dari standar internasional. Saat dunia berlomba mencapai superintelijen, pertanyaan mendasar muncul: apakah inovasi ini benar-benar aman untuk masyarakat? Temuan ini dirilis pada 3 Desember 2025, tepat saat regulasi AI global seperti EU AI Act mulai diterapkan, menambah urgensi diskusi tentang keseimbangan antara kecepatan pengembangan dan perlindungan publik.

Ringkasan Temuan Utama Studi Indeks Keselamatan AI

Studi dari Future of Life Institute yang dirilis pada 3 Desember 2025 mengevaluasi praktik keselamatan enam perusahaan AI utama: Anthropic, OpenAI, xAI, Meta, Z.ai, DeepSeek, dan Alibaba Cloud. Berdasarkan penilaian panel ahli independen, tidak ada satu pun perusahaan yang memiliki strategi komprehensif untuk mengendalikan risiko dari sistem AI canggih, termasuk potensi superintelijen. Penelitian ini membandingkan protokol mereka dengan standar global yang sedang berkembang, dan hasilnya mencolok: praktik keselamatan jauh tertinggal dibandingkan kecepatan inovasi. Di Amerika Serikat, regulasi AI bahkan lebih longgar daripada industri makanan cepat saji, sementara perusahaan-perusahaan ini aktif melobi menentang standar pengikat.

Baca juga: OpenAI Umumkan Code Red, Semua Proyek Dihentikan Demi Fokus ke ChatGPT

Metodologi Penilaian Indeks Keselamatan AI

Indeks Keselamatan AI dari Future of Life Institute dirancang untuk mengukur seberapa matang protokol keselamatan perusahaan AI terhadap benchmark global, seperti kerangka kerja EU AI Act yang menekankan penilaian risiko berbasis tingkat. Penelitian ini melibatkan panel ahli independen yang menilai dokumen publik, kebijakan internal yang tersedia, serta komitmen perusahaan terhadap pengujian dan mitigasi. Fokus utama adalah pada strategi pengendalian sistem superintelijen, termasuk asesmen risiko seperti potensi penyalahgunaan yang menyebabkan kerugian sosial. Meski tidak semua data internal diungkap, studi ini mengandalkan informasi terbuka untuk membentuk skor keselamatan, menyoroti ketidaklengkapan transparansi sebagai salah satu kelemahan mendasar. Panel ahli yang terlibat terdiri dari berbagai negara, termasuk pemenang Turing Award, untuk memastikan objektivitas penilaian.

Kekurangan Spesifik dalam Protokol Keselamatan

Perusahaan-perusahaan yang dievaluasi menunjukkan kekurangan serius dalam pengelolaan risiko. Misalnya, tidak ada yang memiliki rencana konkret untuk mengendalikan AI superintelijen, meskipun mereka berlomba mengembangkan model dengan kemampuan penalaran dan logika melebihi manusia. OpenAI dan Meta, sebagai pemimpin pasar, gagal dalam pengujian ketat terhadap skenario bencana, sementara xAI dan Anthropickurang menekankan akuntabilitas eksternal. Studi juga mencatat absennya mekanisme pengawasan independen, yang membuat mitigasi risiko seperti pencegahan peretasan atau dampak psikologis tetap lemah. Di tengah investasi ratusan miliar dolar, prioritas kecepatan inovasi sering kali mengorbankan langkah pencegahan, seperti pengujian etis yang komprehensif sebelum peluncuran.

Baca juga: Waduh! ChatGPT Sempat Gangguan Global, Data Percakapan Mendadak Hilang

Dampak Potensial terhadap Masyarakat dan Industri AI

Foto: teachguardianmsp.com

masyarakat, di mana kasus bunuh diri dan cedera diri terkait chatbot AI telah tercatat, menunjukkan potensi bahaya langsung dari sistem yang tidak terkendalikan. Secara industri, ketidakpatuhan terhadap standar global bisa memicu fragmentasi regulasi, di mana negara-negara seperti Uni Eropa menerapkan aturan ketat sementara AS tetap longgar, menghambat kolaborasi internasional.

Implikasi bagi Asia Tenggara dan Urgensi Reformasi

Bagi pengembang AI di Indonesia, yang semakin bergantung pada model impor, ini berarti risiko ketergantungan pada teknologi asing yang rentan, sambil mendorong perlunya adaptasi lokal terhadap benchmark seperti EU AI Act untuk lindungi data pengguna domestik. Di Asia Tenggara sendiri, termasuk Indonesia, pengguna AI generatif meningkat 300% dalam dua tahun terakhir, sehingga risiko ini menjadi semakin relevan bagi jutaan pengguna lokal.
Studi Indeks Keselamatan AI ini berfungsi sebagai alarm global bagi industri bernilai triliunan dolar. Kecepatan inovasi tidak boleh lagi mengorbankan keselamatan publik; perusahaan AI harus segera beradaptasi dengan standar global yang ketat atau berisiko kehilangan kepercayaan. Tanpa transparansi dan perbaikan segera, mimpi AI yang bermanfaat akan berubah menjadi ancaman nyata bagi peradaban.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News  

(AA/ZA)

Robot Gantikan Kuli Bangunan? Pasar Konstruksi Diprediksi Berubah Total 2035

4 December 2025 at 18:11

Foto: smsperkasa

Teknologi.id - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan robotika tidak lagi terbatas pada ranah manufaktur otomotif yang steril atau gudang logistik yang kotor. Kini, perubahan signifikan telah menyentuh sektor yang dikenal padat karya, yaitu konstruksi. Di tengah tuntutan efisiensi waktu dan peningkatan standar keselamatan, gagasan tentang robot yang menggantikan peran kuli bangunan bukan lagi sekedar skenario film fiksi ilmiah. Analisis pasar terbaru menunjukkan bahwa era tersebut akan segera tiba. Diprediksi, robot humanoid akan menjadi pemain kunci yang secara spesifik mengubah pasar konstruksi gobal pada tahun 2035. 

Prediksi Pertumbuhan Signifikan Pasar Robot Humanoid Konstruksi

Statement robot konstruksi ini tentu bukan hanya sekedar angan-angan dan asumsi semata, laporan yang dirilis oleh lembaga riset pasar terkemuka menyoroti bahwa unit bisnis robot humanoid di sektor konstruksi sedang berada di ambang pertumbuhan eksponensial. Inti berita ini adalah proyeksi bahwa penggunaan robot dengan desain menyerupai manusia akan menjadi norma baru di lokasi-lokasi proyek besar. 

Penelitian tersebut menggarisbawahi beberapa faktor pendorong, termasuk meningkatnya kekurangan tenaga kerja terampil di banyak negara maju dan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan produktivitas serta keselamatan kerja. Robot humanoid dirancang untuk bekerja di lingkungan yang berbahaya, mengangkat beban berat, atau melakukan tugas berulang yang berisiko bagi manusia. Dengan kemampuan ini, robot bukan hanya menjadi alat bantu, melainkan mitra kerja yang mampu beroperasi selama 24 jam tanpa henti. 

Detail Teknologi dan Kemampuan Robot Humanoid

Robot humanoid yang ditunjukan untuk sektor konstruksi dibekali dengan teknologi canggih yang jauh melampaui mesin-mesin otomatis konvensional. Mereka umumnya dilengkapi dengan sensor spesial tingkat tinggi, sistem navigasi berbasis AI, dan mekanisme aktuator yang memungkinkan gerakatan yang presisi dan adaptif layaknya pekerja manusia. 

Salah satu fitur kunci dari pekerja humanoid ini adalah kemampuan mereka untuk belajar dari lingkungan (Machine Learning). Robot-robot ini dapat memproses data dari scanner 3D, cetak biru digital (BIM), dan instruksi verbal untuk menjalankan tugas mulai dari survey lokasi, pengangkatan material, hingga struktural yang kompleks. 

Fleksibelitas desain humanoid memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan alat-alat kerja yang dirancang untuk manusia, seperti palu, bor, atau perkakas las. Integrasi dengan sistem Building Information Modeling (BIM) juga memastikan setiap pekerjaan yang dilakukan robot berada dalam toleransi kesalahan yang sangat kecil, jauh melampaui kemampuan manusia. 

Baca juga: Hyodol: "Cucu" Versi Robot AI Korea Selatan Hadir Atasi Kasus Bunuh Diri Lansia

Dampak Ekonomi dan Manfaat Industri Jangka Panjang 

Foto: nicifour.co.id

Transisi menuju otomatisasi menggunakan robot humanoid dengan kecerdasan buatan membawa dampak besar pada konteks industri konstruksi global. Dampak utamanya adalah lonjakan efisiensi dan pengurangan biaya operasional jangka panjang, meskipun investasi awal yang dibutuhkan untuk pengadaan robot dan infrastruktur pendukungnya tergolong tinggi. 

Secara spesifik, studi menunjukkan bahwa adopsi robotika akan: 

1. Meningkatkan Keselamatan Kerja: Mengurangi secara signifikan kecelakaan di lokasi proyek dengan mengalihkan pekerjaan berbahaya, seperti bekerja di ketinggian atau menangani bahan kimia, kepada robot. 

2. Mengatasi Defisit Tenaga Kerja: Menjembatani kesenjangan akibat kekurangan pekerja muda yang tertarik pada profesi konstruksi, khususnya di negara-negara dengan populasi menua. 

3. Mempercepat Proyek: Robot dapat bekerja tanpa lelah dan dengan kecepatan konsisten, memungkinkan penyelesaian proyek konstruksi skala besar menjadi jauh lebih cepat dan risiko kecelakaan kerja yang lebih rendah. 

Hal ini secara tidak langsung juga mendorong pertumbuhan ekosistem teknologi di sekitar industri konstruksi, mencakup perusahaan penyedia perangkat lunak AI, pengembang sensor, dan penyedia layanan pemeliharaan robot. 

Baca juga: Cina Lagi: Robot Humanoid Diterjunkan Jaga Perbatasan Vietnam

Kesimpulan Arah Baru Industri Konstruksi di Era Teknologi dan Kecerdasan Buatan 

Proyeksi bahwa robot humanoid akan merevolusi pasar konstruksi pada tahun 2035 secara besar-besaran menggarisbawahi bahwa sektor ini sedang menuju masa depan dimana kecanggian teknologi menjadi standar untuk banyak hal. Dari peningkatan keselamatan kerja hingga percepatan proyek, robot humanoid menawarkan solusi yang fundamental terhadap tantangan klasik dalam industri konstruksi. Transisi ini menuntut kesiapan bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dari  sisi regulasi, pendidikan, dan adaptasi tenaga kerja agar Indonesia kedepannya tidak tertinggal dalam gelombang baru otomatisasi global ini. 

Baca berita dan artikel lainnya di Google News  

(AA/ZA)

❌