Normal view

Received — 18 December 2025 Tech News & Update

QRIS Mendunia: Inovasi Pembayaran Indonesia Bikin Negara Maju Panas Dingin

18 December 2025 at 23:14

Foto: Antara Foto

Teknologi.id – Indonesia sering kali dipandang sebagai pasar konsumen bagi produk teknologi asing. Namun, narasi itu kini berbalik arah. Sebuah inovasi sistem pembayaran asli buatan anak bangsa, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), tidak hanya menjadi raja di negeri sendiri, tetapi juga sukses membuat negara-negara maju berdecak kagum—bahkan merasa tersaingi.

Laporan terbaru dari CNBC Indonesia, Kamis (18/12/2025), menyoroti fenomena menarik di mana negara-negara lain mulai merasa "panas dingin" melihat betapa cepat dan masifnya adopsi QRIS. Sistem yang menyatukan berbagai dompet digital dalam satu kode ini dianggap sebagai "Cawan Suci" (Holy Grail) inklusi keuangan yang sulit ditiru oleh negara lain.

Mengapa Dunia Iri pada Indonesia?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangannya mengungkapkan bahwa keberhasilan Indonesia menyatukan ekosistem pembayaran adalah prestasi langka. Di banyak negara maju, sistem pembayaran digital masih terfragmentasi; setiap aplikasi memiliki kode QR sendiri yang tidak bisa dipindai oleh aplikasi lain.

Indonesia, melalui Bank Indonesia (BI), berhasil mendobrak tembok tersebut. Negara lain panas dingin melihat kesuksesan integrasi ini. Skala adopsinya pun bukan main-main. Hingga akhir 2025, tercatat sudah ada 57 juta pengguna aktif QRIS di seluruh nusantara. Lebih mencengangkan lagi, sistem ini telah diadopsi oleh 39 juta merchant atau pedagang. Angka ini mencakup segala lapisan, mulai dari gerai kopi mewah di mal Jakarta hingga pedagang cilok keliling di pelosok desa.

Konektivitas tanpa batas inilah yang menjadi nilai jual utama Indonesia di mata investor global, menjadikan QRIS sebagai tulang punggung ekonomi digital nasional.

Baca juga: Pengguna iPhone Belum Bisa Pakai QRIS Tap, Ini Penjelasan Bank Indonesia

Jajah Asia: Dari Bangkok hingga Tokyo

Tidak puas hanya menjadi jagoan kandang, QRIS kini telah resmi go international. Impian untuk bepergian ke luar negeri tanpa repot menukar uang di money changer kini telah menjadi kenyataan bagi warga Indonesia.

Kerja sama pembayaran lintas batas (cross-border payment) telah terjalin mulus dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Wisatawan Indonesia di Bangkok atau Kuala Lumpur kini tinggal membuka aplikasi mobile banking atau e-wallet lokal mereka, memindai kode QR setempat, dan transaksi selesai dalam hitungan detik dengan konversi kurs otomatis yang kompetitif.

Pencapaian terbaru yang paling membanggakan adalah perluasan ke Jepang, yang resmi dimulai sejak momen kemerdekaan RI, 17 Agustus 2025 lalu. Kini, turis Indonesia yang berbelanja di distrik Ginza atau membeli jajanan di Kyoto bisa membayar menggunakan Rupiah via QRIS.

Tidak berhenti di situ, Bank Indonesia kini tengah dalam tahap uji coba dan finalisasi kerja sama dengan raksasa ekonomi lainnya: Korea Selatan dan China. Jika ini rampung, praktis warga Indonesia bisa bepergian ke hampir seluruh destinasi utama Asia hanya bermodalkan ponsel pintar.

Dukung Target Ekonomi Digital US$ 600 Miliar

Kesuksesan QRIS bukan sekadar soal kemudahan bayar-membayar, tetapi merupakan strategi makroekonomi yang krusial. Pemerintah Indonesia memiliki target ambisius untuk menumbuhkan nilai ekonomi digital hingga mencapai US$ 600 miliar (sekitar Rp 9.300 triliun) di masa depan.

Airlangga Hartarto menegaskan bahwa QRIS adalah lokomotif utama untuk mencapai angka fantastis tersebut. Dengan mempermudah transaksi, perputaran uang menjadi lebih cepat. UMKM yang dulunya unbankable (tidak terjangkau bank), kini tercatat dalam sistem keuangan formal berkat QRIS.

Data transaksi pun menunjukkan tren yang "gila-gilaan". Bank Indonesia mencatat pertumbuhan transaksi QRIS mencapai angka 143,6% secara tahunan (year-on-year) menjelang penutupan tahun 2025 ini. Lonjakan ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia telah benar-benar beralih menjadi masyarakat nontunai (cashless society) yang matang.

UMKM Jadi Pemenang Utama

Siapa yang paling diuntungkan dari fenomena "panas dingin" negara lain ini? Jawabannya adalah UMKM Indonesia. Dengan adanya QRIS lintas batas, pedagang kini bisa menerima pembayaran langsung dari turis asing (Thailand, Malaysia, Singapura) menggunakan dompet digital negara asal turis tersebut.

Mekanisme Local Currency Settlement (LCS) yang mendasari kerja sama QRIS antarnegara ini memungkinkan transaksi diselesaikan dalam mata uang lokal masing-masing, mengurangi ketergantungan pada Dolar AS. Ini membuat biaya transaksi menjadi lebih murah bagi pedagang kecil dan lebih menguntungkan bagi ekonomi nasional.

Baca juga: QRIS Resmi Bisa Dipakai di Jepang, Transaksi Jadi Lebih Mudah!

Foto: BCA

Tantangan dan Masa Depan

Tentu saja, ekspansi ini bukan tanpa tantangan. Isu keamanan siber (cyber security) dan literasi digital di daerah terpencil masih menjadi pekerjaan rumah. Namun, melihat antusiasme global dan dukungan penuh pemerintah, posisi QRIS tampaknya tak tergoyahkan.

Negara-negara lain kini mulai "belajar" ke Indonesia. Mereka melihat bagaimana sebuah negara kepulauan yang luas bisa disatukan oleh satu kotak kode batang sederhana.

Jika dulu kita bangga dengan Batik atau Rendang yang mendunia, di tahun 2025 ini, kita patut membusungkan dada untuk QRIS. Sebuah teknologi sederhana yang dampaknya membuat raksasa ekonomi dunia merasa gentar.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)

Bye Loading! ChatGPT Kini Bikin Gambar 4x Lebih Cepat & Saingi Google Nano Banana

18 December 2025 at 22:06

Foto: Eplicate.com

Teknologi.id – Perang kecerdasan buatan (AI) tidak pernah tidur. Belum kering tinta berita tentang peluncuran model teks terbaru, kini medan pertempuran berpindah ke arena visual. OpenAI, sang pionir di balik ChatGPT, baru saja melepaskan pembaruan besar-besaran yang mengubah cara kita membuat gambar digital.

Jika sebelumnya pengguna harus menunggu beberapa detik—atau bahkan menit—untuk melihat imajinasi mereka menjadi gambar, kini semuanya terjadi hampir seketika. 

OpenAI resmi menggulirkan pembaruan yang membuat ChatGPT mampu menghasilkan gambar 4 kali lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. ChatGPT kini bikin gambar 4x lebih cepat, hasil saingi Nano Banana Pro Google, tulis laporan tersebut, menandai babak baru persaingan antara OpenAI dan Google.

Selamat Tinggal Loading Lama

Bagi para desainer grafis, konten kreator, atau pengguna iseng sekalipun, kecepatan adalah segalanya. Menunggu loading bar berputar saat inspirasi sedang mengalir deras adalah hal yang mematikan kreativitas.

Pembaruan ini menjawab keluhan utama tersebut, peningkatan kecepatan 400% ini dimungkinkan berkat optimalisasi pada arsitektur model GPT-Image-1.5 (nama internal untuk mesin visual baru ini). OpenAI berhasil memangkas proses komputasi berat di server mereka tanpa mengorbankan kualitas akhir gambar. Hasilnya adalah pengalaman pengguna yang jauh lebih snappy dan real-time.

Baca juga: Tren Wrapped Akhir Tahun? ChatGPT Nggak Mau Ketinggalan, Begini Cara Buatnya!

Menantang Dominasi "Nano Banana Pro"

Meskipun namanya terdengar jenaka, Nano Banana Pro adalah model gambar berbasis Gemini 3 yang selama beberapa bulan terakhir merajai pasar karena detailnya yang luar biasa dan kecepatannya yang tinggi. Google sempat berada di atas angin dengan model ini.

Namun, dengan update terbaru ini, ChatGPT tidak hanya menyamai, tetapi dalam beberapa aspek diklaim menyaingi kualitas Nano Banana Pro.

Hasil gambar dari ChatGPT kini terlihat jauh lebih fotorealistik. Masalah klasik seperti jari tangan yang berjumlah enam atau teks dalam gambar yang berantakan (gibberish), kini telah diminimalisir secara drastis. Tekstur kulit, pencahayaan, dan bayangan kini dirender dengan presisi yang membuat mata awam sulit membedakan antara foto asli dan buatan AI.

Fitur Baru: Tab Khusus Images

Selain kecepatan, OpenAI juga merombak antarmuka (UI) untuk memanjakan pengguna visual.  Adanya fitur baru berupa tab khusus "Images" di sidebar aplikasi. Sebelumnya, fitur pembuatan gambar menyatu dengan chat teks biasa, yang sering kali membingungkan konteks percakapan.

Dengan tab khusus ini, ChatGPT berubah fungsi menjadi tool desain grafis yang dedicated. Pengguna bisa melihat galeri riwayat gambar yang pernah mereka buat, mengorganisirnya dalam folder, dan melakukan pengeditan cepat tanpa harus menelusuri riwayat chat yang panjang.

Ini adalah langkah cerdas OpenAI untuk memposisikan ChatGPT bukan lagi sekadar chatbot serba tahu, melainkan suite kreativitas lengkap yang bisa menggantikan software desain dasar.

Baca juga: Resmi! ChatGPT Siapkan "Adult Mode" 2026, Bisa Bahas Topik Erotika

Edit Lebih Presisi

Kecepatan bukan satu-satunya senjata baru. Kemampuan editing atau penyuntingan gambar juga mendapat sorotan. Pengguna kini bisa melakukan instruksi revisi yang sangat spesifik. Misalnya, jika Anda membuat gambar "Seorang pria memakai topi merah di pantai", lalu Anda ingin mengubah warnanya, Anda cukup mengetik "Ganti topi merah jadi topi koboi cokelat".

Sistem baru ini mampu mendeteksi objek "topi" secara presisi dan menggantinya tanpa merusak elemen lain seperti rambut pria tersebut atau pemandangan pantai di belakangnya. Tingkat pemahaman konteks visual ini disebut-sebut setara dengan kemampuan layering di Photoshop, namun dijalankan hanya dengan perintah suara atau teks.

 

Foto: Open AI

Foto: Open AI

Dampak Bagi Industri Kreatif

Peluncuran fitur ini diprediksi akan kembali mengguncang industri kreatif. Dengan kemampuan menghasilkan gambar berkualitas tinggi 4 kali lebih cepat, produktivitas agency iklan, pembuat storyboard film, hingga pengelola media sosial akan meningkat pesat.

Namun, di sisi lain, ini juga memicu kembali perdebatan mengenai hak cipta dan orisinalitas. Semakin mudah dan cepat gambar dibuat, semakin banjir pula internet dengan konten sintetis.

OpenAI sendiri menyatakan telah menanamkan watermark digital (tanda air tak kasat mata) dalam setiap gambar yang dihasilkan model baru ini, untuk membedakannya dari karya seniman manusia. Langkah ini sejalan dengan standar industri yang juga diterapkan oleh Google pada Nano Banana Pro.

Akhir tahun 2025 menjadi momen pembuktian bagi OpenAI. Setelah sempat dianggap tertinggal oleh Google dalam urusan visual, mereka membalas dengan pukulan telak.

Fitur pembuatan gambar yang 4 kali lebih cepat ini bukan sekadar update rutin; ini adalah pernyataan perang bahwa ChatGPT siap menjadi raja di segala lini AI, baik teks maupun visual. Kini, bola panas kembali berada di tangan Google.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)

Dampak Ekspansi AI, Gen Z Mulai Prioritaskan Keahlian Teknis untuk Masa Depan

18 December 2025 at 19:52

Foto: Safety Mart Indonesia

Teknologi.id – Selama satu dekade terakhir, narasi kesuksesan bagi anak muda selalu identik dengan laptop, dan pekerjaan di perusahaan rintisan (startup) teknologi. Namun, angin perubahan mulai bertiup kencang di kalangan Generasi Z.

Bayang-bayang Kecerdasan Buatan (AI) yang semakin pintar mengambil alih tugas-tugas administratif dan kreatif membuat anak-anak muda ini berpikir ulang. Daripada berebut kursi di kantor yang posisinya terancam otomatisasi, mereka kini justru melirik profesi "kuno" yang selama ini dipandang sebelah mata: pekerjaan tangan.

Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, Rabu (17/12/2025), tren ini terlihat nyata di Amerika Serikat. "Keahlian di bidang pertukangan hingga pengelasan kini masuk di sejumlah sekolah di Amerika Serikat. Ini karena pekerja kantoran dinilai bakal jadi 'korban' perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang begitu masif."

Selamat Tinggal Kubikel, Halo Bengkel

Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan sebuah respons rasional terhadap ketidakpastian pasar kerja. Gen Z, yang tumbuh sebagai digital native, menyadari bahwa algoritma AI mungkin bisa menulis kode atau membuat artikel, tetapi AI belum bisa membetulkan pipa bocor atau mengelas kerangka gedung pencakar langit.

Lembaga pendidikan di AS pun bergerak cepat menangkap sinyal ini. Mereka tidak lagi hanya berlomba-lomba mencetak sarjana sains komputer, tetapi mulai berinvestasi gila-gilaan di pendidikan vokasi.

Salah satu contoh paling mencolok terjadi di SMA Middleton. "SMA Middleton jadi salah satu yang mulai menerapkan pengajaran untuk profesi tersebut. Tak tanggung-tanggung, US$90 juta dikeluarkan oleh pihak sekolah untuk memperbarui laboratorium manufakturnya."

Nilai investasi sebesar itu (sekitar Rp 1,4 triliun) menunjukkan keseriusan pihak sekolah. Mereka sadar bahwa untuk menarik minat siswa modern, fasilitas bengkel tidak boleh terlihat kotor atau ketinggalan zaman.

Baca juga: Bapak AI Geoffrey Hinton: Semua Pekerjaan Manusia Dapat Digantikan oleh AI

Bukan Sekadar "Kerja Kasar" Biasa

Salah satu alasan mengapa Gen Z mulai tertarik adalah karena definisi "pekerjaan kasar" (blue collar) itu sendiri telah berevolusi. Bengkel modern kini lebih mirip laboratorium canggih daripada tempat yang penuh oli dan debu.

Pihak sekolah di AS mengubah kurikulum agar relevan dengan era digital. "Namun pengajarannya agak berbeda dengan kemampuan di masa lalu. Profesi itu akan memanfaatkan perkembangan zaman dengan mesin berteknologi tinggi."

Di SMA Middleton, siswa tidak hanya memegang palu atau obeng manual. Mereka belajar mengendalikan mesin-mesin futuristik. "Akhirnya mereka memiliki lengan robot dengan pengendali yang berasal dari komputer. Cara kerja robot dapat langsung disaksikan di balik jendela kaca besar."

Integrasi antara keterampilan tangan manusia dan presisi robotika ini menciptakan jenis pekerjaan hybrid baru. Siswa diajarkan mata pelajaran klasik tahun 1990-2000an seperti "konstruksi, manufaktur, dan pertukangan kayu," namun dengan sentuhan teknologi abad ke-21.

Foto: ilustrasi lengan robot (Future Skills)

Gaji yang Menggiurkan: Rp 800 Ribu Per Jam!

Tentu saja, idealisme saja tidak cukup. Faktor ekonomi menjadi pendorong utama migrasi karir ini. Stigma bahwa pekerjaan tangan bergaji rendah mulai runtuh seketika saat melihat slip gaji para pekerja terampil ini.

Untuk menarik minat siswa, para pengajar transparan mengenai potensi penghasilan. "Guru bahasa Inggris dan instruktur pengelasan, Quincy Millerjohn mengatakan upah pekerja di pabrik baja berkisar US$41 ribu hingga US$52 ribu per jam (Rp 670 ribu hingga Rp 849 ribu)."

(Catatan: Terdapat kemungkinan kesalahan penulisan "ribu" pada angka Dolar di sumber asli, namun angka konversi Rupiah Rp 670.000 - Rp 849.000 per jam adalah angka yang masuk akal untuk upah buruh terampil berserikat di AS, yang setara dengan US$41 - US$52 per jam).

Bayangkan, seorang lulusan SMK atau vokasi bisa mengantongi hampir satu juta rupiah hanya dalam satu jam kerja. Angka ini sering kali melampaui gaji awal lulusan universitas yang bekerja sebagai staf administrasi (entry level) di kota-kota besar.

Baca juga: Riset Terbaru: Alih-alih Meringankan, AI Justru Tambah Jam Kerja Karyawan

Pergeseran Paradigma

Strategi sekolah-sekolah ini terbukti berhasil. Kelas-kelas vokasi yang dulunya sepi peminat, kini diserbu siswa. "Ternyata hasilnya cukup efektif. Kelas tersebut diikuti 2.300 siswa dalam beberapa tahun terakhir."

John Mihm, seorang konsultan pendidikan pemerintah bagian Wisconsin, menyoroti bahwa ketakutan terhadap AI adalah katalis utama fenomena ini. Siswa mencari keamanan kerja (job security) yang tidak bisa ditawarkan oleh pekerjaan kantoran saat ini.

"'Ada pergeseran paradigma. [Pekerjaan tangan] kini adalah pekerjaan dengan keahlian tinggi dan gaji tinggi sehingga menarik buat banyak orang, karena mereka langsung melakukan segalanya sendiri,' kata Mihm."

Mihm menegaskan bahwa kemampuan untuk memperbaiki, membangun, dan menciptakan sesuatu dengan tangan fisik adalah aset yang semakin langka dan mahal di dunia yang serba virtual. Saat semua orang sibuk di dunia maya, mereka yang menguasai dunia nyata justru menjadi raja.

Apa yang terjadi di AS ini bisa menjadi cermin bagi negara lain, termasuk Indonesia. Di saat banyak sarjana kesulitan mencari kerja karena skill mereka tidak sesuai kebutuhan industri atau tergantikan teknologi, kembali ke "akar" pekerjaan fisik mungkin adalah solusi cerdas.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)

Gemini 3 Flash Meluncur: Performa Setara Pro, Harga 4 Kali Lebih Murah

18 December 2025 at 20:12

Foto: Google

Teknologi.id – Google kembali membuat geger industri kecerdasan buatan (AI) global. Di saat perusahaan teknologi lain berlomba-lomba membuat model AI yang semakin besar dan mahal, raksasa teknologi asal Mountain View ini justru mengambil langkah sebaliknya yang mengejutkan: merilis model AI yang sangat cerdas, super cepat, namun dengan harga yang jauh lebih murah.

Pada Kamis pagi (18/12/2025), Google secara resmi meluncurkan Gemini 3 Flash. Ini adalah varian terbaru yang melengkapi keluarga model Gemini 3. Kehadirannya membawa angin segar bagi pengembang aplikasi dan pengguna umum yang menginginkan performa kelas atas tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.

Berdasarkan laporan Kompas Tekno, Google mengklaim bahwa Gemini 3 Flash memiliki performa yang nyaris setara—bahkan dalam beberapa kasus lebih unggul—dibandingkan kakaknya yang lebih "bongsor", Gemini 3 Pro.

Si Kecil Cabe Rawit: Lebih Cepat, Lebih Efisien

Filosofi di balik seri "Flash" dari Google selalu berfokus pada kecepatan (latensi rendah) dan efisiensi biaya. Namun, Gemini 3 Flash tampaknya melampaui ekspektasi tersebut. Ia tidak hanya cepat, tetapi juga pintar.

Dalam ekosistem Google, varian "Pro" biasanya ditujukan untuk tugas-tugas berat yang membutuhkan penalaran kompleks seperti matematika tingkat lanjut dan analisis data mendalam. Sementara "Flash" ditujukan untuk respon instan volume tinggi. Namun, batas antara keduanya kini semakin kabur.

"Berdasarkan data internal Google, Gemini 3 Flash secara konsisten melampaui performa Gemini 2.5 Flash dan mengungguli Gemini 2.5 Pro di sejumlah tolok ukur (benchmark) penting," tulis laporan tersebut.

Ini artinya, model versi "murah" tahun 2025 ini sudah lebih pintar daripada model versi "mahal" tahun lalu. Sebuah lompatan teknologi yang signifikan dalam siklus pengembangan AI yang sangat cepat.

Baca juga: Google Rilis Gemini Nano Banana Pro: AI Baru yang Bikin Edit Gambar Makin Mirip Asli

Adu Mekanik: Mengalahkan Versi Pro di Kandang Sendiri

Hal yang paling mencengangkan dari peluncuran ini adalah hasil uji coba teknis atau benchmark. Dalam beberapa kategori krusial, Gemini 3 Flash justru berhasil "mempermalukan" Gemini 3 Pro.

Menurut data yang dirangkum Kompas Tekno, keunggulan Flash terlihat pada tugas-tugas modern seperti pemahaman multimodal (gabungan teks, gambar, video) dan kemampuan coding mandiri (agentic coding).

Berikut adalah perbandingan skor benchmark yang dirilis:

  • MMMU Pro (Pemahaman Multimodal): Gemini 3 Flash mencetak skor 81,2%, sedikit mengungguli Gemini 3 Pro yang berada di angka 81,0%.
  • SWE-Bench Verified (Agentic Coding): Untuk urusan menulis kode program, Flash unggul dengan 78%, sementara versi Pro tertinggal di angka 76,2%.
  • GPQA Diamond (Pengetahuan Ilmiah): Meski kalah tipis, Flash mencatat skor impresif 90,4%, menempel ketat versi Pro yang ada di 91,9%.

Angka-angka ini membuktikan bahwa untuk mayoritas kasus penggunaan dunia nyata—seperti membuat aplikasi, menganalisis gambar, atau chatting sehari-hari—pengguna hampir tidak akan merasakan penurunan kualitas jika menggunakan versi Flash dibandingkan Pro.

Harga Murah: Surga Bagi Developer

Kabar terbaik dari peluncuran ini bukanlah soal kecepatan, melainkan harga. Google menetapkan standar harga baru yang sangat agresif, yang berpotensi mematikan kompetisi dari penyedia model AI lain.

Bagi para developer atau pengembang aplikasi yang menggunakan API Google, biaya operasional adalah segalanya.

"Untuk pengembang, model AI berlabel 'Flash' ini dipatok dengan harga 0,50 dollar AS (sekitar Rp 8.300) per 1 juta token input dan 3 dollar AS (sekitar Rp 50.000) per 1 juta token output," lapor Kompas Tekno.

Mari kita bandingkan dengan harga Gemini 3 Pro untuk melihat betapa murahnya model ini:

  • Gemini 3 Pro: US$ 2 (Rp 33.000) per 1 juta token input.
  • Gemini 3 Flash: US$ 0,50 (Rp 8.300) per 1 juta token input.

Artinya, biaya untuk memproses data masuk (input) di Gemini 3 Flash 75% lebih murah dibandingkan versi Pro. Sedangkan untuk data keluar (output), harganya terpaut empat kali lipat lebih rendah (US$ 3 berbanding US$ 12).

Dengan skema harga ini, startup kecil pun kini bisa membangun aplikasi canggih berbasis AI tanpa takut bangkrut karena tagihan server yang membengkak.

Baca juga: Google Rilis Gemini 3: Model AI Terpintar yang Disebut Saingi GPT-5

Menjadi Standar Baru di Ponsel Anda

Google tidak hanya menyimpannya untuk developer. Pengguna umum seperti Anda juga akan langsung merasakan dampaknya.

Laporan tersebut menyebutkan, "Google menyebut Gemini 3 Flash mulai digulirkan sebagai model bawaan (default) di aplikasi Gemini, menggantikan Gemini 2.5 Flash."

Jadi, jika Anda membuka aplikasi Google Gemini di ponsel Android atau iOS hari ini, kemungkinan besar Anda sudah berbicara dengan "otak" baru ini. Google menjanjikan pengalaman yang lebih responsif. Di aplikasi tersebut, Gemini 3 Flash akan hadir dalam dua mode: opsi "Fast" untuk jawaban kilat, dan opsi "Thinking" untuk pertanyaan yang butuh mikir agak lama.

Selain itu, mesin pencari masa depan Google, yaitu Google AI Mode, juga akan ditenagai oleh Gemini 3 Flash secara global. Kemampuannya menarik informasi real-time dari web dan menyajikannya dalam bahasa manusia menjadikannya kandidat sempurna untuk menggantikan mesin pencari tradisional.

Foto: BisnisUpdate.com

Peluncuran Gemini 3 Flash pada 18 Desember 2025 ini menegaskan posisi Google yang semakin dominan dalam perang AI. Dengan menawarkan performa setara kelas "Pro" namun dengan harga kelas "Ekonomis", Google telah mendemokratisasi akses ke teknologi kecerdasan buatan tingkat tinggi.

Bagi konsumen, ini berarti asisten digital yang lebih pintar dan cepat. Bagi pengembang, ini adalah efisiensi biaya yang masif. Dan bagi kompetitor, ini adalah tantangan berat untuk menciptakan produk tandingan yang bisa secepat dan semurah Gemini 3 Flash.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)

Gawat! Hacker ShinyHunters Klaim Curi Data Pornhub, Minta Tebusan Bitcoin

18 December 2025 at 01:27

Foto: Getty Images

Teknologi.id – Ancaman serius menghantui jutaan pengguna situs dewasa Pornhub. Kelompok peretas (hacker) terkenal, ShinyHunters, tidak hanya mengklaim telah mencuri data sensitif pengguna, tetapi kini secara terbuka menuntut uang tebusan dalam bentuk Bitcoin. Jika tidak dipenuhi, mereka mengancam akan membocorkan data pribadi tersebut ke publik. Berdasarkan laporan Reuters, Selasa (16/12/2025), aksi pemerasan digital ini menjadi sorotan dunia keamanan siber.

"Hacking group ShinyHunters claims theft data users leading sex site Pornhub," ("Kelompok peretas ShinyHunters mengklaim telah mencuri data pengguna situs dewasa terkemuka, Pornhub) tulis laporan tersebut, menandai dimulainya potensi krisis privasi yang serius di penghujung tahun ini.

Klaim Hacker dan Bukti yang Diverifikasi

Klaim peretas sering kali hanya gertakan sambal. Namun, dalam kasus ini, Reuters melakukan langkah investigasi jurnalistik untuk memverifikasi kebenaran data tersebut. Hasilnya cukup mengkhawatirkan.

Meskipun Reuters menyatakan belum bisa memverifikasi skala penuh dari peretasan tersebut secara independen, mereka berhasil menemukan kecocokan pada sampel data yang dibocorkan. "Reuters was able to verify a small sample of the data," (Reuters berhasil memverifikasi sebagian kecil dari data tersebut.) catat laporan itu. Proses verifikasi dilakukan dengan menghubungi individu yang namanya tercantum dalam daftar bocoran tersebut. "Three people — two in Canada and one in the United States — confirmed that the data was accurate," (Tiga orang—dua di Kanada dan satu di Amerika Serikat—mengonfirmasi bahwa data tersebut akurat) lanjut laporan tersebut.

Ketiga korban ini mengonfirmasi bahwa nama, alamat email, dan informasi parsial lainnya yang dipegang oleh hacker adalah benar milik mereka. Namun, ada sedikit kelegaan: data tersebut tampaknya bukan data real-time terbaru. Para korban menyebutkan bahwa informasi tersebut berasal dari aktivitas berlangganan mereka "beberapa tahun yang lalu."

Ancaman Tebusan Bitcoin

Motif di balik serangan ini sangat klasik: uang. ShinyHunters tidak melakukan ini hanya untuk ketenaran semata. Mereka menyandera data privasi pengguna untuk mendapatkan keuntungan finansial. Dalam pesan yang dilihat oleh Reuters, kelompok tersebut menuntut pembayaran tebusan. "The hackers demanded a ransom payment in Bitcoin to prevent the leak of the data," (Para peretas menuntut pembayaran tebusan dalam bentuk Bitcoin untuk mencegah kebocoran data tersebut,) tulis laporan tersebut.

Jika tebusan tidak dibayar, ancamannya jelas: data pengguna akan disebar ke publik. Dalam konteks situs dewasa, ini membuka pintu bagi risiko sextortion (pemerasan seksual), dimana penjahat siber bisa menghubungi korban secara individu dan mengancam akan memberitahu keluarga atau rekan kerja korban mengenai kebiasaan daring mereka kecuali korban membayar sejumlah uang.

Baca juga: Jangan Salah! Ini Perbedaan Bitcoin dan Blockchain yang Wajib Kamu Pahami

Permainan Tuding Menuding: Peran Pihak Ketiga

Salah satu aspek paling menarik dari kasus ini adalah bagaimana data tersebut bisa bocor. ShinyHunters mengklaim bahwa mereka tidak meretas sistem Pornhub secara langsung, melainkan melalui pintu belakang vendor pihak ketiga.

Hacker tersebut menuduh bahwa data diperoleh melalui "insiden keamanan yang melibatkan firma analitik Mixpanel" yang terjadi pada November 2025. Mixpanel adalah perusahaan layanan analitik bisnis yang digunakan oleh banyak perusahaan teknologi besar untuk melacak interaksi pengguna.

Namun, tuduhan ini dibantah keras oleh pihak Mixpanel. Dalam pernyataan resminya kepada Reuters, Mixpanel menegaskan bahwa sistem mereka aman. 

"Mixpanel found no evidence that any Mixpanel data was compromised," (Mixpanel tidak menemukan bukti bahwa ada data Mixpanel yang telah dibobol,) bunyi pernyataan perusahaan tersebut. Bantahan ini menciptakan misteri baru: jika bukan dari Mixpanel (seperti klaim hacker) dan bukan dari sistem internal Pornhub, dari mana ShinyHunters mendapatkan data otentik tersebut?

Siapa ShinyHunters?

Bagi pengamat keamanan siber, nama ShinyHunters bukanlah pemain baru. Mereka adalah "predator puncak" dalam ekosistem kejahatan siber yang memiliki rekam jejak serangan profil tinggi.

Laporan Reuters mengingatkan pembaca akan reputasi kelompok ini: "ShinyHunters is a well-known cybercriminal group that has previously claimed responsibility for hacks of Ticketmaster and Santander bank." (ShinyHunters adalah kelompok penjahat siber terkenal yang sebelumnya mengaku bertanggung jawab atas peretasan Ticketmaster dan bank Santander.)

Serangan terhadap Ticketmaster dan Santander Bank sebelumnya menunjukkan bahwa kelompok ini memiliki kemampuan teknis yang mumpuni untuk menembus pertahanan perusahaan multinasional. Fakta bahwa mereka kini mengarahkan meriamnya ke Pornhub menunjukkan bahwa tidak ada sektor industri yang aman dari jangkauan mereka.

Baca juga: Laporan Cloudflare 2025: Indonesia "Sarang Hacker" Terbesar di Dunia

Foto: Quantropi

Respon Pornhub

Hingga berita ini diturunkan, Pornhub—yang dimiliki oleh perusahaan investasi Ethical Capital Partners—belum memberikan komentar rinci mengenai klaim spesifik ShinyHunters ini.

Ketiadaan konfirmasi resmi sering kali menambah kepanikan pengguna. Namun, bagi pengguna internet, insiden ini menjadi pengingat keras tentang jejak digital. Data yang kita serahkan ke situs web, terutama yang bersifat sangat pribadi, tidak pernah benar-benar aman 100%.

Apa yang Harus Dilakukan Pengguna?

Meskipun data yang diverifikasi Reuters berasal dari beberapa tahun lalu, bahayanya tetap nyata. Nama dan alamat email sering kali tidak berubah dalam jangka waktu lama.

Pakar keamanan menyarankan agar siapa pun yang pernah mendaftar layanan premium di situs-situs serupa untuk segera:

  1. Mengganti kata sandi (password).
  2. Mengaktifkan otentikasi dua faktor (2FA).
  3. Waspada terhadap email pemerasan (phishing) yang mungkin masuk ke kotak masuk, yang mengklaim memiliki video atau data riwayat penelusuran Anda.

Kasus ShinyHunters vs Pornhub ini bukan sekadar pencurian data; ini adalah serangan terhadap privasi paling intim manusia di era digital.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News 

(WN/ZA)

Starlink Laku Keras di 2025, Trafik Internet Satelit Global Melonjak 2,3 Kali

17 December 2025 at 23:12

Foto: Starlink

Teknologi.id – Mimpi untuk menghubungkan seluruh penduduk bumi dengan jaringan internet, tak peduli seberapa terpencil lokasi mereka, perlahan namun pasti mulai terwujud. Tahun 2025 dicatat sebagai tahun emas bagi industri internet berbasis satelit, dengan Starlink milik Elon Musk memimpin sebagai aktor utamanya.

Selama bertahun-tahun, "kesenjangan digital" menjadi tembok tebal yang memisahkan masyarakat perkotaan dengan mereka yang tinggal di pedalaman, kepulauan, atau wilayah konflik. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa tembok tersebut mulai runtuh. Langit yang dulu hanya dihiasi bintang, kini dipenuhi konstelasi satelit yang memancarkan sinyal Wi-Fi ke sudut-sudut bumi yang sebelumnya "gelap gulita".

Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, Selasa (16/12/2025), layanan internet luar angkasa ini mencatatkan rekor pertumbuhan yang fantastis. "Starlink kian berkembang tahun ini. Salah satunya cakupan penggunaannya mencapai lebih dari 20 negara atau wilayah baru."

Lonjakan Trafik 2,3 Kali Lipat

Indikator paling nyata dari adopsi massal ini terlihat dari data lalu lintas internet global. Laporan tahunan yang dirilis oleh Cloudflare menjadi saksi bisu betapa agresifnya penetrasi Starlink.

"Laporan The 2025 'Cloudflare Radar Year in Review' mencatat layanan internet berbasis satelit milik SpaceX itu jadi pilihan paling populer untuk konektivitas ke daerah yang belum terlayani." Tidak hanya sekadar "ada", layanan ini benar-benar digunakan secara intensif. Laporan tersebut mengungkapkan data statistik yang mengejutkan: "Tercatat volume permintaan melonjak 2,3 kali lipat selama setahun."

Angka ini bukan sekadar statistik bisnis, melainkan representasi dari jutaan manusia yang akhirnya mendapatkan akses ke informasi, pendidikan, dan ekonomi digital. Cloudflare menyoroti pola yang konsisten: begitu piringan satelit Starlink diizinkan masuk ke sebuah negara, trafik data langsung meledak.

"'Kami cenderung melihat pertumbuhan lalu lintas pesat saat layanan Starlink tersedia di suatu negara/wilayah, dan tren itu berlanjut pada 2025,' tulis Cloudflare dalam laporannya."

Baca juga: Inilah Rahasia Starlink dan Satria-1 Tetap Menyala Saat Sumatera Dihantam Banjir!

Menjamah Wilayah Baru: Dari Armenia hingga Sri Lanka

Tahun 2025 menjadi tahun ekspansi besar-besaran. Starlink tidak lagi hanya dimiliki orang kaya di Amerika atau Eropa, tetapi telah menjadi kebutuhan infrastruktur dasar di negara-negara berkembang.

"Peningkatan ini termasuk dari 20 negara/wilayah baru baru bisa mengakses layanan. Termasuk Armenia, Nigeria, Sri Lanka dan Sint Maarten." Kehadiran internet berkecepatan tinggi di negara seperti Nigeria dan Sri Lanka memiliki dampak ekonomi yang jauh lebih signifikan dibandingkan di negara maju. Di wilayah-wilayah ini, pembangunan infrastruktur kabel serat optik sering kali terhambat oleh kondisi geografis yang sulit atau biaya investasi yang terlampau mahal. Satelit menjadi solusi jalan pintas (leapfrog) yang efektif.

Foto: Starlink Indonesia

Rekor Pertumbuhan di Negara Tetangga RI

Yang menarik, lonjakan penggunaan tidak hanya terjadi di wilayah baru. Negara-negara yang sudah lebih dulu mengadopsi Starlink justru mengalami peningkatan lalu lintas yang jauh lebih gila-gilaan, membuktikan bahwa pengguna semakin bergantung pada layanan ini.

Data menunjukkan lonjakan eksponensial di beberapa negara berkembang, termasuk tetangga terdekat Indonesia. "Selain itu, beberapa wilayah yang telah bisa mengakses Starlink sebelum 2025 juga mengalami peningkatan. Mulai dari Benin sebanyak 51 kali, Timor Leste 19 kali, dan Botswana mencapai 16 kali."

Angka pertumbuhan 19 kali lipat di Timor Leste adalah fenomena yang patut dicermati. Ini menunjukkan betapa tingginya "rasa haus" akan konektivitas di wilayah Asia Tenggara yang kepulauannya mirip dengan karakteristik geografis Indonesia.

Kasus Unik Botswana dan Pengguna "Nomaden"

Salah satu sorotan khusus dalam laporan Cloudflare adalah Botswana. Negara di Afrika bagian selatan ini menjadi studi kasus bagaimana internet satelit mengubah lanskap digital sebuah bangsa dalam waktu singkat.

"Khusus untuk Botswana, Cloudflare juga memasukkan penjelasannya dalam tren lalu lintas internet global." Bahkan, tercatat lonjakan spesifik pada tanggal tertentu. "Negara itu mengalami pertumbuhan puncak lalu lintas tertinggi mencapai 298% pada 8 November 2025."

Secara keseluruhan, "Menurut catatan Cloudflare, Botswana dan Sudan jadi wilayah dengan peningkatan lalu lintas mencapai lebih dari dua kali lipat tahun ini."

Selain pengguna menetap, Starlink juga menjadi penyelamat bagi mereka yang bergerak. Fitur mobilitasnya memungkinkan akses internet di tengah samudra atau di ketinggian 30.000 kaki. Laporan menyebutkan layanan ini populer "pada pengguna yang berada di pesawat dan kapal." Uniknya, trafik internet Starlink bahkan terdeteksi di negara-negara yang secara resmi belum membuka layanannya. Bagaimana bisa? Jawabannya adalah fitur roaming.

Trafik internet juga tercatat pada lokasi yang tidak tersedia layanannya. Cloudflare menjelaskan kemungkinan catatan lalu lintas itu berasal dari pengguna roaming. Sebab layanan itu termasuk dalam salah satu kemampuan milik Starlink.

Baca juga: Setahun di Indonesia, Kecepatan Internet Starlink Anjlok Drastis! Ini Penyebabnya

Masa Depan Konektivitas

Apa yang terjadi di tahun 2025 ini menegaskan bahwa internet satelit bukan lagi teknologi masa depan, melainkan solusi masa kini. Wilayah-wilayah yang selama ini "gelap gulita" dalam peta internet dunia, kini mulai berkelap-kelip memancarkan sinyal kehidupan digital.

Bagi negara kepulauan dan benua dengan daratan luas yang sulit dijangkau kabel, kesuksesan Starlink "laku keras" ini adalah sinyal bahwa pemerataan akses informasi bukan lagi hal yang mustahil.

Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News.

(WN/ZA)

Tidak Terima Nama Twitter Diambil, Elon Musk Seret Startup Ini ke Pengadilan

17 December 2025 at 21:51

Foto: Slate

Teknologi.id – Apakah sebuah nama benar-benar bisa mati? Bagi Elon Musk, jawabannya tampaknya paradoks: Dia membunuh nama "Twitter", namun ia tidak akan membiarkan orang lain menghidupkannya kembali.

Dalam sebuah putaran hukum yang ironis di penghujung tahun 2025, X Corp—perusahaan induk platform media sosial X—kini berjuang mati-matian di pengadilan untuk mempertahankan hak atas nama yang justru mereka hapus sendiri lebih dari dua tahun lalu.

Berdasarkan laporan dari kantor berita Reuters, Selasa (16/12/2025), X Corp telah resmi melayangkan gugatan terhadap sebuah startup media sosial yang mencoba mengklaim merek dagang "Twitter" dan "Tweet".

Munculnya "Operation Bluebird"

Lawan hukum X Corp kali ini bukanlah raksasa teknologi seperti Meta atau Google, melainkan sebuah entitas yang menamakan dirinya dengan sebutan yang cukup provokatif: "Operation Bluebird".

Nama ini sendiri seolah menyindir sejarah Twitter yang ikonik dengan logo burung birunya (blue bird). Startup ini melihat celah hukum yang menarik. Ketika Elon Musk melakukan rebranding total dari Twitter menjadi X pada Juli 2023, ia secara efektif menghapus burung biru dan nama Twitter dari semua branding resmi perusahaan.

Operation Bluebird berargumen bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk "penelantaran merek" (trademark abandonment). Dalam hukum merek dagang AS, jika sebuah merek tidak digunakan secara komersial untuk jangka waktu tertentu, merek tersebut bisa dianggap kadaluwarsa dan bisa diklaim oleh pihak lain. Dengan dasar inilah, Operation Bluebird mengajukan upaya untuk mendaftarkan dan mengambil alih hak atas nama "Twitter" dan "Tweet".

Baca juga: Twitter Bangkit Lagi? Operation Bluebird Ajukan Petisi untuk Rebut Trademark dari X

Argumen X Corp: Twitter Masih "Hidup dan Sehat"

Tidak terima aset intelektualnya dicuri, X Corp segera bereaksi. Dalam gugatan yang didaftarkan di pengadilan federal Delaware pada 16 Desember 2025, pengacara X Corp menolak mentah-mentah argumen bahwa mereka telah menelantarkan merek tersebut. Menurut laporan Reuters, X Corp menegaskan dalam berkas gugatannya bahwa merek Twitter masih "hidup dan sehat (alive and well)."

Bagaimana mungkin merek yang sudah diganti namanya masih dianggap hidup? X Corp memiliki beberapa argumen kunci yang sulit dibantah:

  1. Infrastruktur Domain: Hingga hari ini, jutaan pengguna di seluruh dunia masih mengetik twitter.com di peramban mereka untuk mengakses layanan X. Pengalihan (redirect) ini dianggap sebagai penggunaan aktif merek dagang.
  2. Persepsi Publik: X Corp berargumen bahwa publik dan media masih secara luas menyebut platform tersebut sebagai Twitter, dan menyebut postingan di dalamnya sebagai "tweet".
  3. Kekayaan Intelektual: Merek dagang adalah aset. Membiarkan pihak lain menggunakan nama Twitter akan menciptakan kebingungan massal dan merugikan bisnis X Corp.

X Corp menuduh Operation Bluebird mencoba melakukan oportunisme hukum—mencoba "mencuri" kekayaan intelektual yang bernilai miliaran dolar dengan memanfaatkan momen transisi branding perusahaan. 

Mengapa Elon Musk Peduli?

Langkah hukum ini memicu pertanyaan menggelitik: Mengapa Elon Musk, yang begitu vokal membenci brand Twitter hingga menggantinya dengan "X", kini begitu protektif terhadapnya?

Jawabannya berkaitan dengan perlindungan defensif. Jika Operation Bluebird berhasil mendapatkan hak atas nama Twitter, mereka bisa meluncurkan aplikasi media sosial baru bernama "Twitter". Hal ini akan menjadi bencana bagi X. Pengguna lama yang tidak menyukai perubahan X bisa saja bermigrasi ke "Twitter baru" tersebut karena faktor nostalgia dan kebingungan.

X Corp meminta pengadilan untuk membatalkan upaya pendaftaran merek oleh Operation Bluebird dan menyatakan bahwa hak atas nama Twitter dan Tweet masih sepenuhnya milik X Corp, meskipun branding utama mereka kini adalah X.

Foto: Code Politan

Preseden Hukum "Zombie Brand"

Kasus ini menyentuh area hukum merek dagang yang sering disebut sebagai zombie brand—merek yang sudah "mati" secara komersial tetapi masih memiliki nilai ingatan (brand recall) yang kuat di benak konsumen.

Biasanya, perusahaan besar akan tetap memelihara merek lama mereka dengan penggunaan minimal hanya untuk mencegah kompetitor mengambilnya. Namun, kasus Twitter unik karena skala dan kecepatan perubahannya. Sangat jarang ada perusahaan global yang membuang salah satu merek paling dikenal di dunia dalam semalam.

Operation Bluebird mencoba menguji batas hukum tersebut: Seberapa lama sebuah merek boleh "disimpan di gudang" sebelum dinyatakan sah untuk diambil orang lain?

Situasi Saat Ini

Gugatan di Delaware ini baru tahap awal. Pengadilan harus memutuskan apakah penggunaan twitter.com sebagai alamat pengalihan dan fakta bahwa publik masih menyebutnya "Twitter" sudah cukup untuk memenuhi syarat hukum "penggunaan dalam perdagangan" (use in commerce).

Jika X Corp kalah, ini akan menjadi preseden hukum yang mengguncang dunia bisnis, di mana rebranding bisa berisiko kehilangan hak atas nama lama. Namun, jika X Corp menang, ini menegaskan bahwa "Twitter" adalah hantu yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh orang lain selain Elon Musk.

Bagi pengguna, drama ini menambah bumbu di tengah transformasi media sosial yang terus berlangsung. Twitter mungkin sudah menjadi X di toko aplikasi, tetapi di ruang sidang, nama legendaris itu masih menjadi rebutan yang sengit.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News 

(WN/ZA)

Bosan Scroll di HP? Instagram Resmi Masuk TV Lewat Amazon, Siap Tantang YouTube

17 December 2025 at 21:12

Foto: Amazon

Teknologi.id – Perang perebutan perhatian di ruang keluarga (living room) resmi memasuki babak baru. Setelah bertahun-tahun menjadi raja di layar ponsel pintar yang kecil dan vertikal, Instagram akhirnya memutuskan untuk "melebarkan sayap"—secara harfiah—ke layar televisi Anda. Langkah strategis ini menandai perubahan besar dalam ekosistem media sosial. Meta, induk perusahaan Instagram, tidak lagi rela membiarkan YouTube dan TikTok menikmati kue penonton televisi sendirian.

Meta telah meluncurkan aplikasi khusus TV untuk platform berbagi foto dan video tersebut. "Aplikasi 'Instagram for TV' kini hadir untuk perangkat Amazon Fire TV," tulis laporan tersebut, menandai debut resmi Instagram di pasar Connected TV (CTV).

Reels di Layar Raksasa: Pengalaman Baru

Selama lebih dari satu dekade, Instagram didesain untuk digenggam. Namun, aplikasi baru di Amazon Fire TV ini dirancang untuk dinikmati sambil bersandar di sofa (lean-back experience). Fokus utama aplikasi ini sangat jelas: Reels. Format video pendek yang menjadi pesaing utama TikTok ini menjadi sajian utama di layar TV. Uniknya, Meta tidak memaksa video vertikal menjadi horizontal.

Pengguna Amazon Fire TV di Amerika Serikat—wilayah pertama yang mendapatkan akses uji coba ini—akan melihat tampilan antarmuka yang disesuaikan. Video Reels tetap tampil vertikal di tengah layar, kemungkinan besar diapit oleh latar belakang buram atau dark mode, memanfaatkan ruang kosong di sisi kiri dan kanan TV layar lebar.

Tessa Lyons, Vice President of Product Instagram, menjelaskan bahwa langkah ini diambil karena melihat perubahan perilaku pengguna. Video pendek kini tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi sering kali menjadi tontonan bersama teman atau keluarga.

Foto: Meta

Fitur Ramah Keluarga dan "Multi-Akun"

Salah satu tantangan terbesar membawa media sosial personal ke TV (perangkat komunal) adalah privasi dan personalisasi. Instagram menjawab tantangan ini dengan fitur multi-login.

Aplikasi Instagram di Fire TV memungkinkan pengguna untuk "login hingga 5 akun berbeda dalam satu perangkat." Ini berarti, dalam satu rumah tangga, Ayah, Ibu, dan anak-anak bisa memiliki profil mereka masing-masing di TV ruang tamu, mirip dengan cara kerja profil di Netflix atau Disney+.

Selain itu, navigasi konten juga dibuat lebih terstruktur. Pengguna tidak hanya disuguhi feed algoritma acak, tetapi bisa menjelajahi konten berdasarkan kategori spesifik seperti "Musik, Olahraga, Travel, dan Makanan." Ini mengubah Instagram dari sekadar aplikasi scrolling tanpa henti menjadi platform hiburan yang lebih terkurasi layaknya saluran TV kabel.

Foto: Meta

Strategi "Bakar Uang" Dulu: Belum Ada Iklan

Yang menarik dari peluncuran ini adalah strategi monetisasinya. Atau lebih tepatnya, ketiadaan monetisasi untuk saat ini. Dalam wawancaranya dengan CNBC, Tessa Lyons menegaskan bahwa prioritas utama timnya saat ini adalah "pengalaman pengguna (user experience)," bukan mendulang dolar dari iklan.

"Lyons menyebut bahwa saat ini tidak ada iklan di aplikasi TV tersebut," catat laporan itu. Meta tampaknya sadar betul bahwa untuk mengubah kebiasaan pengguna dari menonton YouTube ke menonton Instagram di TV, mereka harus memberikan pengalaman yang bersih, cepat, dan menyenangkan terlebih dahulu tanpa gangguan commercial break.

Ini adalah strategi klasik perusahaan teknologi: bangun basis pengguna yang loyal di platform baru, lalu pikirkan cara menghasilkan uang belakangan.

Baca juga: Meta Kasih Wajah Baru untuk Facebook, Mirip Instagram tapi Lebih Canggih?

Menantang Dominasi YouTube dan TikTok

Langkah Instagram ini tidak bisa dilepaskan dari konteks persaingan global. YouTube telah lama menjadi penguasa mutlak di layar televisi. Laporan Nielsen secara konsisten menempatkan YouTube sebagai platform streaming yang paling banyak ditonton di TV di AS, bahkan mengalahkan Netflix dalam beberapa metrik.

TikTok juga sudah lebih dulu berekspansi ke TV melalui kemitraan dengan Samsung, Google TV, dan Amazon. Meta menyadari bahwa jika mereka tidak hadir di layar terbesar di rumah, mereka akan kehilangan waktu tonton (watch time) yang berharga, terutama saat pengguna pulang ke rumah dan meletakkan ponsel mereka.

Dengan masuk ke ekosistem Amazon Fire TV—salah satu perangkat streaming terlaris di dunia—Instagram langsung mendapatkan akses ke jutaan ruang keluarga.

Baca juga: Fitur Your Algorithm Dirilis! Ini Cara Setting Reels Instagram Agar Lebih Relevan

Masa Depan: Tidak Lagi Sekadar Aplikasi Foto

Peluncuran ini menegaskan transformasi total Instagram. Aplikasi yang dulunya tempat berbagi foto estetik persegi (square), kini berevolusi menjadi platform hiburan video omni-channel.

Bagi pembuat konten (creator), ini adalah berita besar. Konten mereka kini berpotensi ditonton di layar 50 inci atau lebih, memberikan pengalaman sinematik yang tidak bisa ditawarkan oleh layar ponsel 6 inci. Kualitas produksi video Reels kemungkinan akan semakin meningkat seiring dengan tersedianya wadah tayang yang lebih besar.

Meski saat ini baru tersedia secara eksklusif untuk Amazon Fire TV di AS, besar kemungkinan aplikasi ini akan segera meluncur ke platform lain seperti Android TV, Apple TV, atau sistem operasi Smart TV Samsung dan LG di masa depan, serta memperluas jangkauannya ke pasar global termasuk Indonesia.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA) 

❌