Reading view

OpenAI: ChatGPT Enterprise Bantu Karyawan Hemat Hingga 1 Jam Kerja per Hari

Foto: CNET

Teknologi.id -  OpenAI, pembuat ChatGPT merilis temuan terbarunya soal pengaruh Artificial Intelligence (AI) di tempat kerja. Dalam laporannya yang berjudul "Laporan 2025: Keadaan AI Enterprise," diambil berdasarkan data yang dikumpulkan dan survei 9.000 pekerja di hampir 100 perusahaan.

Temuan utamanya adalah memajukan produktivitas: teknologi AI seperti ChatGPT diperkirakan mengemat 40 menit sampai satu jam dari waktu pekerja setiap harinya.

Meningkatnya Produktivitas di Berbagai Sektor

Foto: OpenAI

Survey tersebut membuktikan tiga perempat (lebih dari 75%) responden melaporkan kalau penggunaan AI saat bekerja mempercepat tugas atau meningkatkan kualitas ouput mereka. Kelompok pekerja yang paling merasakan semakin hematnya waktu adalah data science, teknisi, komunikasi, IT, dan akuntan.

Menurut data:

  • Pekerja IT: 87% melaporkan perbaikan masalah IT lebih cepat.
  • User Marketing/ Produk: 85% melaoprkan eksekusi campaign menjadi lebih cepat.
  • Profesional HR: 75% melaporkan keterlibatan karyawan meningkat.
  • Pengguna AI Tingkat Lanjut: Pengguna AI intens melaporkan telah menghemat sebanyak 10 jam dalam seminggu.

Ronnie Chatterji, Kepala Ekonomi di OpenAI, mengatakan pengaruhnya lebih dari kecepatan semata. Ia menyatakan tiga dari empat orang mengatakan, "Saya bisa melakukan hal yang sebelumnya saya tidak bisa," menyorot AI dalam mengembangkan kemampuan di tempat kerja, faktor yang sering diabaikan dalam diskusi AI dan pekerjaan.

Baca juga: Karyawan Apple Ramai-Ramai Pindah ke OpenAI, Dukung Proyek Baru Jony Ive

Naiknya 'Vibe Coding' dan Kemampuan Baru

Laporan tersebut menyajikan bukti bahwa AI mendukung pekerja non-teknis untuk mengerjakan tugas baru, terutama coding.

OpenAI menemukan tren signifikan "Vibe Coding", yaitu pekerja non-teknis mulai membuat kode. Banyaknya pesan seputar coding dari pekerja non-teknis meningkat sebanyak 36% selama enam bulan terakhir. Terlebih lagi, 75% pengguna melaporkan mereka dapat menyelesaikan tugas baru yang sebelum tidak dapat dilakukan, sementara 73% teknisi melaporkan kode berhasil lebih cepat saat menggunakan alat AI.

Hal ini menujukkan kalau perusahaan "bertambah luas di margin ekstensif - lebih banyak pekerja menggunakan AI—dan margin intensif—pengguna yang sudah ada mendalami lebih jauh," ujar startup yang didukung Microsoft tersebut.

Melawan Narasi 'Gelembung AI'

Foto: Ist

Temuan OpenAI muncul di tengah debat peneliti dan ahli ekonomi tentang Return of Investment (ROI) AI.

Studi sebelumnya menunjukkan keraguan:

  • Penelitian MIT (Agustus): Menemukan kebanyakan perusahaan melihat tidak ada keuntungan atau pengaruh langsung dari projek generatif AI, seringkali disebabkan integrasi perusahaan yang bercelah.
  • Penelitian Harvard dan Stanford (September): Menyorot masalah "workslops", saat output yang dibuat AI terlihat bagus tetapi kekurangan arti atau tidak ada nilai tambahan.
  • Survei KPMG (April): Menemukan perusahaan yang menerapkan AI di luar program pilot tetap stagnan.

Meski begitu, pemimpin OpenAI meyakini kalau studi-studi ini tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Direktur Operasional (COO) OpenAI, Brad Lightcap mengatakan:

"Banyak studi tidak sejalan dengan apa yang kita lihat dalam praktiknya,"  

Lightcap menegaskan kalau adopsi AI enterprise tidak meningkat dengan cepat atau lebih cepat dibanding adopsi konsumen biasa. Perusahaan ini membagikan data poin-poin penting untuk mendukung pernyataannya:

  • Berbasis Pelanggan: Lebih dari satu juta bisnis membayar untuk pelayanan AI milik OpenAI.
  • Pengguna: 7 juta pekerja saat ini menggunakan ChatGPT Enterprise.
  • Intensitas Penggunaan: Banyaknya pesan per minggu di ChatGPT Enterprise meningkat sebanyak 8% year-on-year (YoY), dengan rata-rata pekerja mengirim pesan 30% lebih banyak.
  • Kecanggihan: Penggunaan Custom GPT dan ChatGPT Projects untuk arus kerja yang terstruktur dan berulang, meningkat 19 kali lipat di tahun lalu, menunjukkan pergeseran dari kueri biasa ke proses yang terintegrasi.
  • Model yang Lebih Maju: Rata-rata konsumsi penalaran per organisasi meningkat sekitar 320 kali dalam 12 bulan terakhir, menunjukkan kepercayaan yang meningkat pada model penalaran AI yang lebih maju.

Baca juga: OpenAI Umumkan Code Red, Semua Proyek Dihentikan Demi Fokus ke ChatGPT

Adopsi Industri dan Kesenjangan Kinerja

Laporan ini juga menunjukkan tren dalam adopsi industri:

  • Pertumbuhan Cepat: Teknologi, kesehatan, dan manufaktur adalah sektor yang paling berkembang dalam adopsi AI.
  • Skala Terbesar: Alat AI telah digunakan secara besar-besaran dalam pelayanan profesional, keuangan, dan teknologi.

OpenAI menyoroti makin jauhnya kesenjangan kinerja, yang menguntungkan "perusahaan terdepan", organisasi dengan tim hibrid yang beranggotakan manusia dan agen AI. Perusahaan terdepan ini menunjukkan keuntungan produktivitas dan penghematan waktu lebih banyak dibandingkan rata-rata perusahaan, mengirimkan pesan dua kali lebih banyak dan terlibat lebih intens pada kemampuan tingkat lanjut.

Kendala utama dalam adopsi AI yang lebih luas dinilai pada kesiapan dan implementasi perusahaan.


Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.


(yna/sa)


  •  

Kaspersky Sebut Telegram Jadi Sarang Kejahatan Siber, 800 Kanal Diblokir!

Foto: CyberHub

Teknologi.id -  Berdasarkan penelitian terbaru dari Kaspersky Digital Footprint Intelligence, Telegram merupakan sarana yang paling sering digunakan penjahat siber atau hacker untuk melancarkan aksinya. Setelah memonitor lebih dari 800 kanal telegram terlarang sejak tahun 2021 sampai tahun 2024, Kaspersky menemukan fakta bahwa bot Telegram merupakan alat yang sangat beresiko.

Aplikasi pesan instan ini, yang dilihat oleh komunitas underground sebagai platform bisnis pasar gelap terintegrasi, berkat memiliki fitur-fitur teknis yang sangat dimanfaatkan pelaku kejahatan.

Baca juga: Telegram Rilis Fitur Komentar di Video Call, Bikin Obrolan Serasa Live Streaming

Mengapa Telegram Menjadi Pilihan Utama Pasar Gelap?

Telegram menawarkan empat keunggulan utama yang membuatnya menarik bagi aktivitas cybercrime pada awalnya:

  1. Otomatisasi Fungsi Kriminal: Bot Telegram dapat mengelola berbagai tugas secara bersamaan, mulai dari memproses pembayaran berbasis aset kripto, menyebarkan kartu bank curian, memasukkan infostealer (perangkat perusak data), melakukan phishing, hingga menjadi layanan serangan DDoS (Distributed Denial of Service) pada ratusan pembeli.
  2. Penyimpanan Tanpa Batas: Fitur penyimpanan file Telegram yang tidak terbatas dan tidak akan kadaluwarsa menjadikan tidak perlu adanya hosting eksternal. Hal ini mempermudah peneyebaran dump data multi-gigabyte atau dokumen korporat curian.
  3. Dorongan Penawaran Kriminal Massal: Otomatisasi yang sangat mulus pada platform tersebut secara alami mendorong dan mempermudah penawaran produk atau layanan kejahatan kriminal bervolume tinggi, harga rendah, dan keterampilan rendah (low-skill offerings), seperti informasi kartu bank atau data yang bocor atau layanan malware hosting.
  4. Fasilitator Transaksi Kepercayaan Tinggi: Meskipun transaksi bernilai tinggi yang bergantung pada kepercayaan, seperti pembocoran kerentanan zero-day, masih banyak digunakan forum dark web bereputasi. Telegram dianggap mampu memfasilitasi komunikasi dan negosiasi sensitif tersebut.

Tren Pemblokiran Meningkat

Foto: Kaspersky

Meskipun Telegram sangat populer di kalangan penjahat siber, tekanan kendali yang meningkat dari Telegram menjadikan platform tersebut menjadi kurang kondusif bagi pelaku kejahatan.

Kaspersky mencatat peningkatan drastis dalam pemblokiran kanal. Sejak 2023, kurva pemblokiran melonjak, pada tahun 2024, pemblokiran setiap bulannya sering mencapai 30 hingga 40 kanal. Pola ini tetap bertahan hingga 2025.

Peningkatan moderasi ini menyebabkan umur kanal bayangan (shadow channel) bertambah panjang. Persentase kanal yang berumur lebih dari sembilan bulan bertambah tiga kali lipat dari tahun 2021 sampai 2024, menunjukkan upaya komunitas kriminal untuk bertahan lama dari upaya penutupan.

Baca juga: Telegram Perketat Keamanan: CEO Pavel Durov Hapus Konten Ilegal dengan AI

Batasan Teknis dan Migrasi Komunitas Kriminal

Pelaku kejahatan siber yang berpengalaman melihat Telegram memiliki sejumlah batasan teknis yang merugikan:

  • Tidak adanya enkripsi end-to-end bawaan di chat.
  • Memiliki infrastruktur terpusat, yang mana pengguna tidak dapat membangun server sendiri untuk berkomunikasi.
  • Kode server-side-nya tertutup, sehingga pengguna tidak dapat memverifikasi atau mengetahui apa yang dilakukannya.

Arsitektur ini memerlukan kepercayaan tinggi pada platform tersebut, suatu hal yang dihindari oleh pelaku kejahatan kriminal berpengalaman saat melindungi operasional dan keamanan pribadi mereka. Mereka juga dihadapkan kemungkinan di-blacklist oleh Telegram.

Sebagai konsekuensinya, banyak komunitas penjahat kini mulai migrasi dan berhenti menggunakan Telegram. Contohnya, Angel Drainer (perusahaan layanan malware-as-a-service atau MaaS yang menyediakan perangkat lunak jahat untuk diperjualbelikan), dan kelompok BFRepo, yang memiliki sekitar 9.000 anggota, dilaporkan telah pindah ke platform lain.

“Ketika sebuah etalase atau layanan menghilang dalam semalam, membangun bisnis yang andal menjadi jauh lebih sulit. Kami mulai melihat tahap awal migrasi sebagai konsekuensi langsungnya,” ujar Vladislav Belousov, Analis Jejak Digital di Kaspersky.

Saran Menghindari Kejahatan Siber

Untuk membantu pengguna dan organisasi agar tetap terhindar dari kejahatan kriminal yang memanfaatkan platform seperti Telegram, Kaspersky menyarankan dua langkah praktis ini:

  1. Pelaporan Komunitas: Melaporkan kanal dan bot yang terbukti ilegal untuk mempercepat moderasi berbasis komunitas.
  2. Pemantauan Ancaman: Menggunakan beberapa sumber informasi ancaman cerdas (dengan cakupan surface web, deep web, dan dark web) untuk tetap berhati-hati dengan aktivitas ilegal terkini, dan waspada dengan TTP (Taktik, Teknik, dan Prosedur) yang digunakan oknum ancaman.  


Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.


(yna/sa)


  •  

Demi Keamanan, AS Akan Minta Turis Serahkan Riwayat Media Sosial 5 Tahun Terakhir!

Foto: Freepik

Teknologi.id -  Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump kembali mengajukan proposal pengetatan perbatasan yang signifikan. Berdasarkan proposal baru dari pejabat tinggi AS, wisatawan dari puluhan negara yang memenuhi syarat untuk mengunjungi AS tanpa visa (melalui program Visa Waiver) wajib menunjukkan riwayat media sosial mereka sebagai syarat masuk.

Aturan ini akan memengaruhi turis dari sekitar 40 negara yang eligible (memenuhi syarat) untuk mengunjungi AS selama 90 hari tanpa visa, asalkan mereka mengisi formulir Sistem Elektronik untuk Otorisasi Perjalanan (Electronic System for Travel Authorization/ESTA).

Alasan Kemanan dan Pengetatan Perbatasan

Foto: Getty Images

Sejak Presiden Donald Trump kembali menjabat di Gedung Putih pada Januari, fokus utama pemerintahannya adalah memperketat perbatasan AS dengan alasan keamanan nasional.

Beberapa analis mengatakan bahwa rencana baru ini dapat menjadi hambatan bagi calon pengunjung, atau melanggar hak digital mereka, serta kemungkinan adanya penurunan angka pengunjung asing, namun Trump mengatakan kalau ia tidak khawatir.

"Kami hanya ingin orang datang ke sini, dengan aman. Kami menginginkan keamanan. Kami menginginkan keselamatan [...] Kami ingin memastikan kami tidak membiarkan orang yang salah masuk ke negara kami."

Pengetatan ini dilakukan menjelang kenaikan angka turis yang diperkirakan AS tahun depan, mengingat negara tersebut akan menjadi tuan rumah Piala Dunia (World Cup) bersama Kanada dan Meksiko.

Detail Proposal Data Media Sosial

Proposal ini diusulkan oleh Departemen Keamanan Tanah Air (Department of Homeland Security/DHS) bersama Penjaga Bea Cukai dan Perbatasan (Customs and Border Protection/CBP).

Dokumen tersebut menyatakan bahwa "elemen data akan mengharuskan pemohon ESTA untuk menyediakan informasi media sosial mereka dari lima tahun terakhir," tanpa memberikan detail lebih lanjut mengenai bagaimana informasi tersebut akan diverifikasi atau digunakan.

ESTA harus diisi dengan informasi dari pengunjung, disertai bayaran sebesar 40 dolar AS (sekitar Rp 666.868). Formulir ini dapat diakses turis dari sekitar 40 negara, termasuk Inggris, Irlandia, Prancis, Australia, dan Jepang, yang mengizinkan mereka berkunjung ke AS beberapa kali dalam waktu dua tahun.

Selain riwayat media sosial, formulir ini juga menanyakan:

  • Nomor telepon yang digunakan selama lima tahun terakhir.
  • Alamat email yang digunakan selama sepuluh tahun terakhir.
  • Informasi mengenai anggota keluarga.

Proposal ini merupakan bagian dari perintah eksekutif Trump yang lebih besar,  berjudul: "Melindungi Amerika Serikat dari Teroris Asing dan Ancaman Keamanan Nasional dan Ketertiban Umum Lainnya"

Baca juga: AS Bongkar Skema Penyelundupan GPU Nvidia Senilai US$160 Juta ke Cina

Reaksi Publik dan Penegakan Visa Lain

Saat ini, Feedback publik mengenai proposal data ini akan dibuka selama 60 hari ke depan, menunjukkan bahwa kebijakan ini belum final.

"Ini bukan keputusan akhir, ini hanya langkah pertama dari awal diskusi mengenai kebijakan baru yang akan menjaga kemanan warga Amerika," jelas seorang juru bicara CBP.

Namun, organisasi hak digital seperti Electronic Frontier Foundation mengkritik proposal ini. Sophia Cope dari organisasi tersebut menyatakan bahwa kebijakan ini dapat "memperparah kebebasan sipil".

Perlu diketahui, pemerintahan Trump sebelumnya juga mengumumkan kebijakan untuk memeriksa akun media sosial pengunjung asing yang mendaftar visa pelajar atau visa H-1B. Pendaftar diwajibkan mengubah profil media sosial mereka menjadi publik agar dapat dilihat dan digunakan untuk menilai kehadiran digital pendaftar. Jika ada informasi yang tidak disebutkan, dapat menyebabkan penolakan visa yang sedang berjalan dan yang akan datang.

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan mengenai kebijakan visa ini: “Ini adalah harapan dari warga Amerika bahwa pemerintah akan melakukan segala upaya untuk membuat negara kita lebih aman, itulah yang dilakukan oleh Administrasi Trump setiap hari.”

Petugas yang bertugas diperintahkan untuk menyaring mereka yang “mendukung, membantu, atau memberikan dukungan kepada teroris asing yang ditunjuk dan ancaman lain terhadap keamanan nasional; atau yang melakukan pelecehan atau kekerasan antisemit yang ilegal”.

Baca juga: Aturan Visa H-1B Baru Trump Ancaman Serius bagi Perusahaan Teknologi AS

Dampak Potensial pada Industri Wisata

Sebagai bagian dari upaya administrasi untuk memperketat perbatasan, para petinggi baru-baru ini mengatakan bahwa larangan perjalanan yang sudah ada - yang berlaku untuk 19 negara di Afrika, Timur Tengah, dan Karibia - dapat diperluas. Langkah ini diumumkan setelah insiden penembakan dua anggota Garda Nasional di Washington DC, di mana seorang pria Afghanistan dituduh sebagai pelakunya.

Para ahli sebelumnya menyarankan bahwa perubahan kebijakan perjalanan yang diperkenalkan di bawah pemerintahan Trump telah berdampak pada industri pariwisata Amerika.

Awal tahun ini, Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia (World Travel and Tourism Council/WTTC) melaporkan bahwa AS adalah satu-satunya dari 184 ekonomi yang dianalisis yang diperkirakan akan mengalami penurunan pengeluaran wisatawan internasional pada tahun 2025.

Kebijakan lain pemerintahan Trump juga tampaknya memengaruhi pariwisata, seperti banyak warga Kanada yang dilaporkan memboikot perjalanan ke AS sebagai bentuk protes terhadap tarif Trump. Oktober menandai bulan ke-10 berturut-turut penurunan jumlah wisatawan Kanada yang berkunjung ke AS. Padahal, di masa lalu, wisatawan Kanada menyumbang sekitar seperempat dari total pengunjung internasional ke AS, dengan pengeluaran lebih dari $20 miliar per tahun.


Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.


(yna/sa)


  •  

Karyawan Apple Ramai-Ramai Pindah ke OpenAI, Dukung Proyek Baru Jony Ive

Foto: PYMNTS

Teknologi.id -  Apple sedang memasuki masa paling bergejolak selama puluhan tahun di industri. Perusahaan yang diketahui atas kepemimpinannya yang tenang dan perputaran organisasi yang lambat kini dihadapkan banyak perpisahan, baik di level eksekutif, maupun teknisi internal. Setelah menarik perhatian saat ditinggalkan beberapa pemimpin seniornya, pergeseran besar-besaran sedang terjadi. Puluhan teknisi dan desainer Apple berpindah ke OpenAI, lebih tepatnya ke startup buatan salah satu mantan kepala desain Apple, Jony Ive. 

Langkah ini menggoyahkan usaha Apple dalam menjejakkan kaki ke lanskap AI modern.

Baca juga: Apple Imbau Pengguna iPhone dan Mac untuk Hindari Google Chrome, Apa Alasannya?

Ketidakstabilan Pasca Ditinggal Deretan Pimpinan

Apple telah kehilangan kepala artificial intelligence-nya, kepala desain interface, dan mengumumkan akan ditinggalkan penasihat hukum dan kepala urusan pemerintahannya. Para pimpinan ini melaporkan langsung ke CEO Tim Cook. Untuk sebuah perusahaan yang menjunjung tinggi masa jabatan yang panjang dan kepemimpinan yang stabil, perubahan yang tiba-tiba ini sangat tidak biasa.

Wakil Presiden Perangkat Teknologi, Johny Srouji, otak di balik kesuksesan chip Apple, mengatakan rencananya untuk keluar. Jika itu sampai terjadi, maka ini akan menjadi kehilangan terbesar Cook.

Gelombang Pengunduran Diri ke OpenAI

Foto: Getty Images

Di balik goyahnya deretan pimpinan, perubahan besar terjadi di antara teknisi Apple. Berdasarkan laporan dari jurnalis Bloomberg, Mark Gurman, dan The Wall Street Journal (WSJ), dijelaskan adanya arus perkerutan pegawai Apple ke OpenAI dalam beberapa bulan terakhir. Pegawai-pegawai ini mencakup beberapa spesialis di sistem audio, robotik, desain jam tangan, teknologi kamera, teknisi silikon, bahkan tim yang terlibat dalam pembuatan headset Vision Pro.

Menurut Gurman, lebih dari 40 pegawai Apple bergabung ke divisi perangkat keras milik OpenAI dalam satu bulan terakhir ini saja. Banyak dari mereka pernah menangani iPhone, Mac, dan perangkat inti Apple yang lain secara langsung. Perpindahan ini meningkat deras setelah OpenAI berhasil mengakuisisi startup perangkat AI milik Jony Ive, yang diketahui sebagai io. Kesepakatan ini diketahui bernilai sekitar 6 miliar dolar AS (sekitar Rp 100 triliun) dan membuat kelompok desain baru yang mirip dengan budaya perangkat Apple sebelumnya.

Gabungan dari visi produk milik Ive dan progres cepat OpenAI dalam dunia AI menjadi kekuatan besar akuisisi ini. Bagi banyak pegawai Apple, kesempatan ini hanya 'sekali dalam satu generasi' untuk dapat merancang perangkat berbasis AI yang benar-benar baru, dibandingkan mengulang dari jajaran produk yang sudah familiar.

Kenapa Banyak Pegawai yang Hengkang?

Beberapa faktor menjelaskan alasan ini. Kabarnya, OpenAI menawarkan kompensasi yang sangat menarik pada calon pegawainya, namun langkah ini bukan semata-mata tentang uang. Sebagian desainer dan teknisi Apple merasa kalau perusahaan tersebut telah kehilangan momennya dalam inovasi, terutama di era AI. Mereka percaya, kolaborasi Jony Ive dan CEO OpenAI, Sam Altman akan menciptakan kebebasan kreativitas dan kesempatan untuk membentuk produk luar biasa yang tidak sesuai dengan jejeran produk Apple.

Dokumen dari Ive dan Altman menyinyalir kalau perangkat pertama yang sedang dikembangkan bukanlah sebuah wearable (perangkat yang dapat dipakai, seperti jam, kacamata) Hal ini menunjukkan ambisi yang lebih besar dan mungkin akan menciptakan kategori perangkat yang benar-benar baru. OpenAI juga merekrut peneliti yang ahli di bidang robotika yang dikendalikan AI, yang berarti mantan-mantan pegawai Apple mungkin akan bergabung dalam proyek yang melibatkan mesin canggih daripada elektronik konsumen.

Baca juga: Apple Dikabarkan Gandeng Intel untuk Produksi Chip iPhone Mulai 2028

Tekanan Internal dari Penundaan AI

Di Apple, semangat di bidang AI melemah. Apple Intelligence dihadapi penundaan, desain ulang Siri jauh tertinggal jadwal, dan ketergantungan ke Gemini milik Google membuat frustasi beberapa tim internal. Saat tokoh penting seperti Kepala Model AI, Ruoming Pang, meninggalkan Meta, perasaan tidak stabil bertumbuh lebih kuat.

Momen Penentu Apple

Dengan pensiunnya pimpinan senior, ditinggalkan teknisi kunci, dan adanya kompetisi kuat dari pesaing yang bergerak cepat, Apple memasuki masa-masa sensitif di kepemimpinan Tim Cook. Selagi perusahaan ini mempersiapkan ulang tahunnya yang ke-50 dan berusaha memposisikan kembali perusahannya ke era AI, tantangan terbesarnya mungkin adalah mempertahankan orang-orang yang pernah mendefinisikan budayanya dan laju inovasinya.

Untuk saat ini, tim Jony Ive yang didukun OpenAI terus menarik talenta Apple, dan memunculkan pertanyaan penting: Dapatkah Apple membangun kembali inti kreatifnya dengan cepat agar tetap relevan di era komputasi selanjutnya?


Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.


(yna/sa)


  •  

Gantikan Llama, Model AI ‘Avocado’ Jadi Taruhan Besar Meta di 2026

Foto: Pluang

Teknologi.id -  Tahun lalu, CEO Meta, Mark Zuckerberg, optimis soal model AI Llama-nya, memperkirakan model tersebut akan memimpin industri dan "membawakan manfaat AI ke semua orang". Namun, antusiasmenya meredup dengan cepat; setelah mendedikasikan sebagian besar keuntungannya di bulan Januari ke Llama, ia tidak pernah menyebutnya lagi di bulan Oktober lalu. Hal ini menandakan perubahan besar: dedikasi Meta untuk model bahasa besar open-source-nya berpindah ke pendekatan AI yang baru dan agresif, didukung oleh perekrutan multi-miliar dolar untuk menantang lawan seperti OpenAI, Google, dan Anthropic.

Menjelang berakhirnya tahun 2025, beberapa orang dalam dan ahli industri melihat strategi Meta sebagai serampangan. Situasi ini membuat Meta terlihat tertinggal jauh di belakang para pesaing AI-nya, yang modelnya berhasil terus diadposi oleh konsumen dan pasar perusahaan secara cepat.

Baca juga: Rugi Triliunan, Ambisi Metaverse Mark Zuckerberg Berakhir Pahit

Munculnya 'Avocado' dan Pertimbangan Open-Source

Saat ini Meta sedang mengembangkan pengganti Llama, sebuah model AI terdepan dengan kode nama Avocado. Banyak yang mengira model ini akan diluncurkan di akhir 2025, namun rencana tersebut sudah diundur ke kuartal pertama 2026 karena uji kinerja yang sedang berlangsung. Seorang juru bicara Meta mengatakan pelatihan modelnya akan "berjalan sesuai rencana".

Kegagalan Llama 4 di bulan April merupakan pemicu utama bagi perubahan arah Zuckerberg. Selama musim panas, ia mengisyaratkan bahwa Meta akan mempertimbangkan kembali filosofi open-source-nya, mengutip resiko seperti Lab AI milik Cina, DeepSeek, memadukan arsitektur Llama dengan model R1 milik mereka. Sebagai konsekuensi, model Avocado yang akan datang diperkirakan akan menjadi proprietary (closed-source), artinya developer luar tidak akan bisa mengakses komponen intinya.

Tekanan Finansial dan Perubahan Kepemimpinan

Foto: Meta Store

Wall Street menuntut pengembalian investasinya (ROI) terutama setelah saham Meta berkinerja buruk di sektor teknologi. Tekanan ini semakin intens saat Meta menghabiskan $14.3 miliar (Rp 238 triliun) di bulan Juni untuk merekrut founder Scale AI, Alexandr Wang dan membeli saham perusahaannya. Selanjutnya, Meta menaikkan perkiraan pengeluarannya di 2025 dari $70 miliar (sekitar Rp 1.168 triliun) ke $72 miliar (sekitar Rp 1.201 triliun). Analis menilai Meta yang awalnya terlihat sebagai pemenang AI, sekarang dihadapkan pertanyaan sulit seputar tingkat investasi dan ROI.

Zuckerberg melakukan rombak besar-besaran internal. Chris Cox, veteran perusahaannya selama 20 tahun, disingkirkan dari mengawasi unit GenAI setelah kegagalan Llama 4. Zuckerberg menggantikan karyawan internal yang telah lama bekerja di perusahaannya dengan orang-orang luar, menunjuk Alexandr Wang (28 tahun, mantan CEO Scale AI) sebagai Chief AI Officer baru Meta dan kepala laboratorium elit TBD Lab, tempat Avocado sedang dikembangkan. Ia juga merekrut mantan CEO GitHub, Nat Friedman dan co-creator ChatGPT, Shengjia Zhao.

Minggu lalu, perusahaannya juga mengonfirmasi rencana pemotongan sumber daya untuk inisiatif terkait metaverse dan virtual reality. Secara resmi menggeser perhatian ke produk yang ditenagai AI, seperti kacamata populer mereka yang dikembangkan dengan EssilorLuxottica, memprioritaskan teknologi baru.

Baca juga: Meta Gaet Desainer Veteran Apple ke Studio Kreatif Baru: Reality Labs

Konflik Budaya dan Dominasi Pesaing

Para pimpinan baru, yang ahli dalam infrastruktur, membawakan gaya manajemen yang tidak familiar bagi Meta. Laporan dari orang dalam mengatakan kalau TBD Lab-nya Wang beroperasi seperti perusahaan startup terpisah di dekat kantor Zuckerberg, dengan anggotanya yang jarang menghadiri perkumpulan internal perusahaan dan tempat kerja, untuk komunikasi yang lebih "tertutup". Mereka menjunjung tinggi mantra "Demo, don't memo (Lakukan, jangan hanya dicatat)" untuk pekembangan cepat, melihat proses tradisional software sebagai hambatan.

Kepemimpinan baru ini berada di bawah tekanan intens untuk dapat mengantarkan model tingkat atas. Tekanan tersebut hanya akan bertambah jika Gemini 3 milik Google dan GPT-5 milik OpenAI memperkenalkan update baru, sementara Anthropic mendebutkan Claude Opus 4.5 di bulan November. Saat konferensi pendapatan Nvidia, CEO Jensen Huang menyorot pelanggan besar seperti OpenAI, Anthropic, dan xAI, tetapi tidak meyebut Llama. Friedman juga dikritik seteleh peluncuran Vibes di bulan September, sebuah layanan video yang dianggap inferior dibanding Sora 2 milik OpenAI.

Tekanan internal semakin terasa; dengan jam kerja 70 jam seminggu telah menjadi rutinitas organisasi AI. Pada bulan Oktober, Meta memangkas 600 pekerjaan di MSL, restrukturasi yang dikabarkan berkontribusi pada keputusan Chief AI Scientist Yann LeCun untuk mundur. Meskipun dihadapi tantangan-tantangan ini, Zuckerberg tetap optimis, menyatakan kalau MSL "memulai dengan kuat" dan memiliki "kepadatan talenta tertinggi di dalam industri".


Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.


(yna/sa)


  •  
❌