Reading view

5 Raja Streaming Musik 2025: Siapa Juara Lossless dan Siapa Jagoan AI?

Foto: Sugo

Teknologi.id – Industri music streaming telah memasuki fase evolusi terbarunya pada tahun 2025. Layanan-layanan utama di pasar global kini tidak lagi hanya bersaing dalam hal kuantitas lagu, tetapi secara agresif berfokus pada kualitas audio yang melampaui standar CD dan fitur personalisasi yang didukung kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI). Kini, pendengar musik bisa menikmati kualitas suara jernih, playlist yang disusun oleh AI, hingga katalog lagu yang semakin lengkap, mengubah pengalaman mendengarkan dari sekadar hiburan menjadi pengalaman audiophile yang mendalam.

Bagi konsumen yang mencari platform terbaik, memilih di antara berbagai opsi canggih ini membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai keunggulan dan fokus spesifik masing-masing layanan. Berikut adalah analisis lima layanan streaming musik terbaik yang mendominasi pasar global di tahun ini.

5 Pilihan Utama Layanan Streaming di Tahun 2025

1. Spotify — Rajanya Rekomendasi Musik yang Didukung AI

Foto: Britannica

Spotify mempertahankan statusnya sebagai pilihan paling populer dan layanan music streaming dengan jangkauan terluas. Dominasi ini bukan hanya berkat katalog musik globalnya yang sangat besar, tetapi terutama didorong oleh algoritma personalisasi yang dianggap paling akurat dan unggul di pasar. Spotify telah memosisikan dirinya sebagai pionir dalam memanfaatkan AI untuk pemetaan selera musik pengguna.

Dengan algoritma cerdas, Spotify mampu menganalisis kebiasaan mendengarkan, waktu mendengarkan, dan konteks lagu (misalnya, tempo dan genre) untuk menghadirkan playlist otomatis yang berkualitas tinggi. Fitur ikoniknya, seperti Discover Weekly dan Daily Mix, telah berevolusi menjadi alat yang sangat adaptif.

Di tahun 2025, integrasi AI semakin diperdalam melalui fitur-fitur seperti DJ AI yang berfungsi sebagai penyiar radio pribadi, menyajikan lagu dan insight dengan suara yang disintesis, dan Fitur Blend untuk menggabungkan selera musik antar pengguna. Inilah yang membuat Spotify sangat cocok untuk pendengar kasual, pencinta playlist, dan pemburu lagu baru yang memprioritaskan kemudahan penemuan musik.

Baca juga: Spotify Wrapped 2025 Resmi Rilis! Begini Cara Akses Clubs dan Pesta Musikmu

2. Apple Music — Kualitas Suara Lossless & Spatial Audio Sebagai Standar Baru

Foto: Milwaukee

Apple Music telah mengambil jalur yang tegas, memposisikan dirinya sebagai juara dalam hal kualitas audio maksimal. Sejak memperkenalkan dukungan Lossless Audio dan Spatial Audio dengan Dolby Atmos, Apple Music secara efektif menarik komunitas audiophile dan pengguna yang memiliki perangkat audio premium.

Lossless Audio memungkinkan streaming musik tanpa kompresi yang merusak, sehingga kualitas suara yang didengar setara dengan kualitas CD atau bahkan master recording studio. Apple menawarkan kualitas ini tanpa biaya tambahan, menjadikannya nilai jual yang sangat kuat. Sementara itu, Spatial Audio memberikan dimensi baru dengan menciptakan pengalaman mendengarkan yang imersif, di mana suara terasa datang dari berbagai sudut 360 derajat.

Keunggulan lain Apple Music adalah sinkronisasi mulus di dalam ekosistem Apple. Bagi pengguna iPhone, iPad, dan AirPods, kualitas suara yang stabil dan integrasi hardware-software yang optimal menjadikan Apple Music pilihan ideal. Layanan ini adalah jawaban bagi audiophile dan siapa pun yang mengutamakan kejernihan dan detail suara di atas segalanya.

Baca juga: Apple Music Replay 2025 Telah Hadir, Apa Saja Yang Baru?

3. YouTube Music — Sinergi Konten Video dan Audio

Foto: MLD

YouTube Music menonjol karena aset uniknya: integrasi mendalam dengan katalog video masif YouTube. Platform ini memungkinkan pengguna tidak hanya mendengarkan jutaan track audio, tetapi juga menikmati video musik resmi, pertunjukan live performance, hingga remix, cover, dan konten user-generated yang seringkali tidak tersedia di layanan streaming musik murni lainnya.

Fleksibilitas untuk beralih antara mode audio dan video menjadikannya pilihan unik. Rekomendasi playlist di YouTube Music juga diperkaya oleh data preferensi tontonan pengguna di YouTube. Dengan begitu, platform ini menjadi sangat berharga bagi penggemar video musik dan penikmat konten live yang ingin menggabungkan pengalaman streaming audio dan visual dalam satu aplikasi. Kemudahannya dalam menemukan lagu-lagu langka atau versi tidak resmi juga menjadi daya tarik tersendiri.

4. Tidal — Pilihan Premium untuk Penggemar Hi-Fi Sejati

Foto: Octavio

Tidal didirikan dengan filosofi yang berpusat pada artis (Artist-first platform) dan komitmen terhadap kualitas audio yang paling tinggi. Tidal dikenal secara spesifik karena menawarkan kualitas Hi-Fi dan Master Quality Authenticated (MQA). Kualitas MQA ini diklaim mereproduksi suara setara dengan master yang dibuat di studio rekaman, menjadikannya pilihan niche bagi para profesional audio dan pendengar yang sangat kritis terhadap kualitas.

Dengan koleksi musik eksklusif dan dukungan fitur immersive audio tingkat tinggi, Tidal secara eksplisit menargetkan segmen pasar premium. Layanan ini didesain untuk memaksimalkan pengalaman mendengarkan melalui perangkat audio kelas atas. Oleh karena itu, Tidal adalah pilihan utama bagi pecinta audio profesional dan pengguna headphone atau speaker premium yang dapat sepenuhnya merasakan perbedaan detail dalam resolusi tinggi.

5. Amazon Music Unlimited — Ultra HD dan Integrasi Smart Home

Foto: Amazon Music

Amazon Music Unlimited (AMU) mungkin kurang menonjol di pasar Asia, tetapi di pasar global, ia adalah pesaing yang tangguh. AMU menawarkan kualitas audio yang setara dengan layanan streaming musik Apple Music, dengan dukungan Ultra HD dan 3D Audio, serta koleksi lebih dari 100 juta lagu. 

Keunggulan unik AMU adalah integrasi mulus dengan ekosistem Alexa. Bagi pengguna yang memiliki perangkat smart home Amazon Echo, AMU menawarkan pengalaman kontrol suara yang sangat lancar dan intuitif. Kualitas Ultra HD AMU setara dengan Lossless Audio di Apple Music, menjadikannya alternatif stabil dan berkualitas tinggi. Layanan ini sangat ideal bagi pengguna smart home Amazon dan mereka yang mencari kualitas audio mumpuni di luar ekosistem dominan lainnya.

Kemenangan Berada di Tangan Pengguna

Tahun 2025 membuktikan bahwa persaingan layanan music streaming telah bergeser dari sekadar harga dan katalog menjadi pertarungan antara Personalisasi Pintar (AI) dan Kualitas Audio Absolut. Spotify memenangkan personalisasi, Apple Music memenangkan kejernihan lossless bagi pengguna smartphone dominan, sementara Tidal memenangkan audiophile sejati. Keputusan layanan terbaik kini sepenuhnya ada di tangan pengguna, tergantung pada prioritas mereka: apakah mereka mencari kemudahan discoverability, kualitas studio, atau sinergi konten visual.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

  •  

Waspada! Smartphone di Usia 12 Tahun Picu Depresi, Obesitas, dan Gangguan Tidur

Foto: BenWagenaar

Teknologi.id – Keputusan krusial orang tua mengenai kapan waktu yang tepat untuk memberikan smartphone kepada anak kini dihadapkan pada bukti ilmiah yang semakin mengkhawatirkan. Sebuah studi besar terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bergengsi Pediatrics di Amerika Serikat menemukan adanya asosiasi yang kuat antara kepemilikan smartphone pada usia 12 tahun dengan peningkatan signifikan risiko depresi, obesitas, dan pola tidur yang terganggu pada anak remaja.

Riset yang melibatkan lebih dari 10.500 anak ini menjadi alarm keras bagi orang tua dan pembuat kebijakan, menegaskan bahwa smartphone tidak lagi bisa dipandang hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai faktor penting yang memengaruhi kesehatan fisik dan mental remaja di awal masa perkembangan mereka.

Baca juga: Orang Tua Wajib Tahu! 5 Aplikasi Parental Control untuk Pantau Aktivitas Online Anak

Data yang Memicu Kekhawatiran dari Studi Pediatrics

Studi ini dirancang secara observasional, membandingkan kondisi kesehatan peserta yang telah memiliki smartphone dengan mereka yang belum memilikinya pada usia 12 tahun. Data statistik yang diperoleh tim peneliti menunjukkan perbedaan yang substansial antara kedua kelompok tersebut, mengungkap jurang kesehatan yang semakin lebar di era digital.

1. Risiko Depresi Meningkat:

Penelitian menemukan korelasi jelas terkait kesehatan mental. Sebanyak 6,5% dari anak usia 12 tahun yang sudah memiliki smartphone telah didiagnosis menderita depresi. Angka ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan hanya 4,5% dari kelompok anak yang tidak memiliki ponsel. Selisih persentase ini menyoroti perlunya kewaspadaan terhadap dampak perangkat genggam terhadap kondisi psikologis remaja. 

2. Asosiasi dengan Obesitas Lebih Tinggi:

Tingkat obesitas juga menunjukkan peningkatan yang patut dicermati. Sebanyak 18% pengguna smartphone dilaporkan mengalami obesitas, sementara pada kelompok tanpa ponsel, angkanya relatif lebih rendah, yakni 12%. Asosiasi ini mengindikasikan bahwa gaya hidup sedentary (kurang gerak) yang sering dikaitkan dengan penggunaan perangkat bergerak berkorelasi erat dengan masalah berat badan. 

3. Gangguan Kualitas Tidur yang Parah:

Dampak yang paling mencolok terlihat pada pola tidur. Sebanyak 47% anak yang memiliki ponsel melaporkan tidur kurang dari sembilan jam per malam. Durasi ini dianggap kurang dari waktu tidur minimal yang direkomendasikan untuk remaja seusia mereka. Angka ini melonjak tajam dibandingkan kelompok tanpa smartphone, di mana hanya 31% yang mengalami kurang tidur. Gangguan tidur ini sering dikaitkan dengan paparan cahaya layar di malam hari yang mengganggu produksi melatonin. 

Baca juga: Ini Tips dan Trik Membatasi Anak Bermain Gadget Tanpa Perlu Marah ke Anak!

Foto: Getty Image

Dampak Seiring Bertambahnya Usia

Studi ini tidak berhenti di usia 12 tahun. Ketika peneliti meninjau anak-anak yang baru mendapatkan smartphone saat mereka memasuki usia 13 tahun, kelompok ini juga mulai menunjukkan peningkatan dalam masalah kesehatan dan kualitas tidur. Meskipun begitu, perubahan pada risiko obesitas di kelompok yang baru mendapat smartphone pada usia 13 tahun ini tidak dilaporkan signifikan seperti perubahan pada risiko kesehatan mental dan tidur.

Ran Barzilay, seorang Psikiater Anak dan Remaja di Children's Hospital of Philadelphia, yang terlibat dalam penelitian ini, menekankan pentingnya peran smartphone sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam kesehatan remaja.

“Temuan kami menunjukkan kita perlu memandang smartphone sebagai faktor penting dalam kesehatan remaja, sehingga keputusan memberi anak ponsel harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan dampaknya pada hidup dan kesehatan mereka,” ujar Barzilay, sebagaimana dikutip dari ScienceAlert.

Menjaga Keseimbangan dan Aktivitas Fisik

Para ilmuwan yang terlibat dalam studi ini juga mengakui bahwa smartphone tidak selamanya berdampak buruk. Mereka mencatat bahwa beberapa penelitian menunjukkan smartphone memiliki manfaat, seperti membantu anak memperluas koneksi sosial, mendukung pembelajaran, hingga menjadi sarana komunikasi penting bagi keluarga.

Namun, pesan kunci dari studi ini adalah pentingnya keseimbangan. Ran Barzilay menyoroti pentingnya aktivitas fisik sebagai perlindungan kesehatan.

"Penting bagi anak muda untuk memiliki waktu jauh dari ponsel agar bisa melakukan aktivitas fisik, yang dapat melindungi dari obesitas dan meningkatkan kesehatan mental dalam jangka panjang," tegas Barzilay.

Penelitian ini bersifat observasional, yang artinya ia menemukan asosiasi yang kuat antar variabel tetapi tidak secara definitif menentukan hubungan sebab-akibat. Meskipun demikian, asosiasi yang ditemukan dinilai cukup kuat untuk ditelaah lebih lanjut dan menjadi dasar peringatan bagi orang tua.

Sebagai langkah lanjutan, para peneliti berencana memperluas riset dengan melihat variabel-variabel penggunaan smartphone yang lebih spesifik, termasuk durasi total penggunaan smartphone, jenis aplikasi yang paling sering digunakan, serta dampak jangka panjang selama masa remaja. Studi ini berfungsi sebagai pengingat krusial bahwa di era perangkat digital, kesehatan anak remaja semakin erat kaitannya dengan keputusan penggunaan teknologi yang bijak dan terstruktur.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

  •  

Bosan Tulisan WA Biasa? Ubah Gaya & Warna Pesanmu Jadi Super Unik!

Foto: Gemini

Teknologi.id – Dalam lanskap komunikasi digital yang semakin menuntut personalisasi, aplikasi pesan instan WhatsApp (WA) sering dianggap kaku karena keterbatasan opsi format teksnya. Secara default, pengguna hanya dapat memanfaatkan format dasar seperti tebal (*teks*), miring (_teks_), ~coret~ (~teks~), dan monospace (teks). Keterbatasan ini mendorong munculnya permintaan tinggi akan solusi kreatif untuk membuat pesan lebih menarik dan berbeda, khususnya dengan mengubah gaya huruf secara drastis atau bahkan menampilkan ilusi warna.

Solusi atas tantangan ini telah ditemukan melalui pemanfaatan website font generator atau alat pihak ketiga online. Metode ini telah menjadi trik populer yang memungkinkan pengguna melampaui batas default aplikasi, mengubah teks biasa menjadi karakter Unicode unik yang kemudian dapat disalin dan ditempelkan ke dalam ruang chat WhatsApp.

Baca juga: Meta Tendang ChatGPT & Copilot dari WhatsApp, Pengguna Hanya Bisa Pakai Meta AI

Peran Kunci Karakter Unicode dalam Kustomisasi

Fenomena kustomisasi tulisan di WhatsApp ini bertumpu pada standar Unicode. Unicode adalah standar pengkodean karakter internasional yang memberikan nomor unik untuk setiap karakter, terlepas dari platform, program, atau bahasa. Ketika sebuah font generator menghasilkan teks "unik," sebenarnya ia mengubah huruf alfabet standar (misalnya, A, B, C) menjadi simbol atau glyph Unicode alternatif yang, secara visual, terlihat seperti gaya font yang berbeda (misalnya, 𝓐, 𝕭, Ⓒ).

Kelebihan utama metode ini adalah universalitasnya. Karena menggunakan karakter Unicode yang sudah diakui dan didukung oleh hampir semua sistem operasi modern (Android dan iOS), teks yang diubah tersebut akan terlihat sama di perangkat pengirim maupun penerima, menjadikannya solusi efektif tanpa perlu mengunduh aplikasi tambahan yang berisiko.

Foto: Gemini

Panduan Tiga Langkah Menggunakan Font Generator

Untuk membuat tulisan Anda menjadi unik (termasuk huruf tebal dekoratif, gaya tulisan tangan, atau ilusi teks berwarna), prosesnya hanya membutuhkan tiga langkah sederhana menggunakan alat font generator daring.

1. Masukkan dan Modifikasi Teks (The Input Phase)

Proses ini dimulai dengan mengunjungi salah satu website font generator populer yang tersedia di internet (misalnya, Lingojam, Gypu, atau Coolsymbol). Website-website ini biasanya menyediakan antarmuka sederhana:

  • Akses Situs: Buka website font generator pilihan Anda melalui browser ponsel atau desktop.
  • Ketik Teks: Masukkan teks atau pesan yang ingin Anda kirimkan ke kolom input yang tersedia di halaman situs.
  • Pilih Gaya: Setelah Anda mengetik, alat tersebut secara otomatis akan memproses teks menjadi ratusan variasi gaya huruf unik. Gulir ke bawah dan pilih format tulisan yang paling menarik dan sesuai dengan tujuan Anda. Beberapa generator bahkan menawarkan fitur untuk menggabungkan teks dengan simbol-simbol dekoratif (aesthetic).

2. Salin Teks Unik (The Copy Phase)

Setelah menemukan gaya font yang diinginkan, Anda hanya perlu menyalin hasilnya: 

Salin Hasil: Tekan atau klik tombol Salin (Copy) yang tersedia di sebelah teks yang dimodifikasi, atau blok teks tersebut secara manual dan gunakan fungsi salin pada perangkat Anda.

Keakuratan Unicode: Pastikan seluruh teks telah tersalin dengan benar, termasuk simbol-simbol Unicode dekoratif yang mungkin menyertai huruf tersebut.

3. Tempel dan Kirim di WhatsApp (The Output Phase)

Langkah terakhir adalah membawa hasil modifikasi dari browser kembali ke aplikasi WhatsApp: Buka WhatsApp:

  • Buka aplikasi WhatsApp dan pilih ruang chat (individu atau grup) tempat Anda ingin mengirim pesan. 
  • Tempel Teks: Tempelkan (paste) tulisan unik yang sudah Anda salin tadi ke kolom pengetikan pesan.
  • Kirim: Setelah memastikan tampilan tulisan sesuai, kirimkan pesan tersebut. Pesan akan terlihat oleh penerima dalam format unik yang Anda pilih, tanpa perlu melakukan setting atau instalasi font khusus.

Baca juga: WhatsApp Hadirkan Fitur Baru Mirip Instagram Notes, Begini Cara Kerjanya

Dampak dan Kewaspadaan Penggunaan Pihak Ketiga

Popularitas penggunaan font generator ini menunjukkan tren peningkatan personalisasi dalam komunikasi sehari-hari. Pesan yang dihiasi font unik cenderung lebih menarik perhatian, terutama dalam grup chat yang ramai, dan memungkinkan pengguna menyampaikan nada emosi atau vibe tertentu yang tidak bisa diwakili oleh teks standar.

Namun, penting bagi pengguna untuk berhati-hati saat menggunakan alat pihak ketiga. Walaupun website font generator umumnya aman (karena hanya memproses teks dan tidak meminta akses data pribadi), pengguna harus menghindari pengunduhan aplikasi font changer yang meminta izin berlebihan ke sistem ponsel. Aplikasi semacam itu berpotensi melanggar kebijakan privasi dan keamanan data pengguna.

Selain itu, pertimbangkan juga faktor kompatibilitas minor. Meskipun sebagian besar font Unicode didukung, ada kemungkinan kecil font yang sangat dekoratif atau baru tidak terbaca dengan baik pada perangkat yang sudah ketinggalan zaman. Dalam kasus ini, font yang tidak didukung dapat muncul sebagai kotak-kotak kosong atau tanda tanya, yang justru mengurangi keindahan pesan.

Kesimpulannya, dengan memanfaatkan kecanggihan Unicode dan kemudahan akses website font generator yang tersedia, pengguna WhatsApp kini memiliki kendali penuh untuk menyuntikkan kreativitas dan gaya unik ke dalam setiap percakapan mereka, menjadikan chatting bukan hanya tentang informasi, tetapi juga tentang seni berekspresi.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

  •  

Apa Arti Sebenarnya dari Istilah "Yapping" yang Kembali Viral Ini?

Foto: Gemini 

Teknologi.id – Dalam lautan kosakata dan tren yang bergerak cepat di media sosial, satu istilah kuno kini bangkit kembali dan merebut perhatian generasi digital: "Yapping." Kata yang awalnya merujuk pada suara gonggongan anjing ini, kini menjadi slang populer, terutama di TikTok dan X (sebelumnya Twitter), digunakan untuk mendeskripsikan perilaku berbicara secara berlebihan, mengoceh, atau berceloteh panjang lebar tanpa henti.

Fenomena yapping tidak hanya sekadar tren linguistik yang tiba-tiba muncul; ia adalah cerminan menarik tentang bagaimana platform digital berfungsi sebagai inkubator budaya dan bahasa, menghidupkan kembali kata-kata lawas dan memberinya makna kontekstual yang baru. Kebangkitan kata ini menyoroti pergeseran semantik dan dinamika sosial dalam komunikasi online.

Asal Usul Slang yang Melampaui Abad

Meskipun bagi banyak pengguna muda istilah "yapping" terasa baru, akar kata "yap" telah tertanam jauh dalam sejarah bahasa Inggris. Menurut catatan Oxford English Dictionary, kata benda 'yap' pertama kali muncul pada tahun 1600-an untuk mendeskripsikan suara yang dikeluarkan oleh anjing kecil, yakni gonggongan yang melengking atau bising.

Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran semantik yang menarik. Pada tahun 1800-an, 'yap' bertransformasi menjadi kata kerja yang mulai diterapkan untuk menggambarkan celotehan atau omongan manusia yang bertele-tele. Sylvia Sierra, seorang profesor linguistik di Syracuse University, menjelaskan bahwa pergeseran makna ini menunjukkan adaptasi bahasa terhadap perilaku manusia. Kata ini bahkan sempat digunakan oleh para rapper ikonik seperti Jay-Z dan Nas dalam lagu-lagu mereka pada era 1990-an, menandakan bahwa "yap" telah lama menjadi bagian dari bahasa informal Amerika.

"Menurut saya, karena TikTok adalah platform yang sebagian besar isinya adalah orang berbicara, 'yapping' menjadi kata kerja yang pas dan sudah tersedia untuk diterapkan pada perilaku berbahasa di platform ini," ujar Sierra, menyoroti kecocokan istilah tersebut dengan konten yang didominasi oleh monolog dan curhatan panjang.

Baca juga: Mengapa Mimpi Kehilangan Topi Berakibat Buruk?

Foto: Gemini 

Makna Ganda di Era Digital

Popularitas istilah "yapping" meroket tajam pada pertengahan tahun 2023. Penggunaannya di media sosial memiliki dua sisi makna yang kontras:

1. Konotasi Negatif: Meremehkan Omongan Berlebihan

Penggunaan paling umum dari yapping adalah untuk mengolok-olok atau meremehkan seseorang yang dianggap terlalu banyak bicara, omongannya tidak jelas, atau omong kosong. Frasa yang sering viral adalah "What is bro yapping about?" (Orang ini lagi ngoceh apa sih?). Frasa ini biasanya dilontarkan di kolom komentar video yang dianggap terlalu panjang, filler (penuh kata-kata tidak penting), atau gagal menyampaikan poin utama. 

Misalnya, di bawah video TikTok yang panjang, kita sering menemukan komentar sarkastik seperti, "ibuku sudah yapping selama 16 tahun," atau "guruku yapping 6 jam setiap hari," menunjukkan bahwa pengguna mengasosiasikan yapping dengan omelan atau kuliah yang membosankan dan tak berujung.

2. Konotasi Positif: Merayakan Curhatan dan Berbicara

Menariknya, istilah ini juga telah diadopsi dan dirayakan sebagai julukan yang memberdayakan diri. Banyak pengguna, terutama perempuan, yang kini mengidentifikasi diri sebagai "yapper girl" (cewek yang suka ngoceh) dan menyebut video curhatan atau monolog panjang mereka sebagai "sesi yapping." Mereka mengubah istilah yang berpotensi merendahkan menjadi bentuk apresiasi diri terhadap kemampuan atau kegemaran mereka berbicara. 

Fenomena ini mengingatkan pada bukti linguistik bahwa "yap" di masa lalu terkadang secara spesifik menyasar celotehan perempuan untuk merendahkan mereka. Namun, pengguna media sosial saat ini, dengan kesadaran akan sejarah istilah tersebut, justru merayakan aspek positifnya. Ini tercermin dalam komentar-komentar romantis di X, seperti, "Salah satu hobi favoritku hanyalah mendengarkan pacarku yapping," menunjukkan bahwa yapping kini dapat berarti pembicaraan intim, jujur, dan berharga di mata orang terdekat.

Baca juga: Jensen Huang: Ibu Ajari Saya Bahasa Inggris Meski Tak Bisa Bahasa Itu

Masa Depan Bahasa di Tangan Digital

Noël Wolf, seorang ahli bahasa dan budaya dari platform belajar bahasa Babbel, berpendapat bahwa kebangkitan kembali kata-kata lama seperti yapping adalah hal yang tak terhindarkan di era digital.

"Platform-platform ini adalah tempat berkembang biaknya inovasi bahasa, di mana influencer maupun pengguna biasa sama-sama memperkenalkan dan mempopulerkan ekspresi baru atau menghidupkan kembali yang lama," jelas Wolf. Menurutnya, budaya anak muda memainkan peran vital dalam memengaruhi tren bahasa online, membentuk slang yang mencerminkan pengalaman budaya unik mereka.

Yapping kini menjadi bukti nyata bahwa bahasa adalah entitas yang hidup dan terus berevolusi, merespons kebutuhan komunikasi dari generasi ke generasi. Istilah ini bukan sekadar kata konyol yang viral, tetapi sebuah penanda tentang bagaimana komunikasi digital, meme, dan tren online kini menjadi kekuatan utama yang membentuk leksikon kita. Seiring perkembangan teknologi dan interaksi virtual yang semakin dominan, para ahli bahasa memperkirakan bahwa kita akan melihat lebih banyak lagi kata-kata dan frasa dari masa lalu yang "di-meme-kan" dan dilahirkan kembali dengan makna yang sama sekali baru di ruang siber.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

  •  

Tolak Serahkan Hadiah GPU RTX 5060, Anak Magang Pilih Tinggalkan Perusahaan

Foto: Gemini

Teknologi.id – Sebuah kisah perselisihan yang melibatkan aset teknologi dan etika perusahaan baru-baru ini menjadi viral di media sosial Tiongkok. Kasus ini berpusat pada seorang karyawan magang muda di sebuah perusahaan teknologi di Shanghai yang dipaksa untuk menyerahkan hadiah yang ia menangkan—yaitu kartu grafis (GPU) Nvidia GeForce RTX 5060—kepada manajemen perusahaan. Alih-alih tunduk pada tekanan, anak magang tersebut mengambil keputusan yang mengejutkan: ia memilih mengundurkan diri (resign) dari pekerjaannya demi mempertahankan hak atas hadiah pribadinya tersebut.

Insiden ini telah memicu perdebatan sengit mengenai batas antara aset perusahaan dan keberuntungan individu, menyoroti praktik-praktik manajemen yang dianggap serakah dan merugikan karyawan di tingkat bawah.

Foto: Lampost

Hadiah Durian Runtuh dari Perjalanan Dinas

Peristiwa ini bermula pada 14 November lalu. Karyawan magang yang identitasnya tidak disebutkan tersebut ditugaskan oleh perusahaannya untuk melakukan perjalanan dinas ke luar kota guna menghadiri acara tahunan Nvidia Roadshow. Karena ini merupakan perjalanan dinas, seluruh biaya akomodasi dan transportasi ditanggung penuh oleh perusahaan.

Di tengah acara tersebut, seperti layaknya acara promosi teknologi besar, diadakan sesi undian atau giveaway. Karyawan magang tersebut, yang mungkin hanya mencoba peruntungannya, berpartisipasi dalam undian tersebut. Dewi fortuna ternyata berpihak kepadanya; ia berhasil memenangkan hadiah utama, yaitu satu unit GPU Nvidia GeForce RTX 5060.

Bagi seorang anak magang, hadiah berupa komponen hardware premium ini adalah "durian runtuh." Di pasaran, GPU RTX 5060 memiliki nilai yang cukup tinggi, diperkirakan mencapai sekitar 3.000 yuan atau setara dengan Rp6,7 juta. Nilai ini tentu signifikan, jauh melebihi potensi gaji bulanan seorang karyawan magang.

Baca juga: Nvidia Rilis RTX 5090D V2 Khusus China, Spesifikasi Dipangkas Demi Patuh Regulasi AS

Tuntutan Aneh dari Manajemen Perusahaan

Sayangnya, euforia kemenangan itu hanya bertahan singkat. Begitu kembali ke kantor, kabar mengenai hadiah yang dimenangkan oleh anak magang tersebut telah "dicium" oleh manajemen dan departemen keuangan.

Alih-alih memberikan selamat, pihak perusahaan, termasuk tim Human Resources (HR) dan petinggi, mulai menekan sang karyawan magang. Mereka menuntut agar kartu grafis Nvidia RTX 5060 itu diserahkan kepada perusahaan.

Argumen yang dilontarkan oleh manajemen perusahaan cukup kontroversial. Mereka mengklaim bahwa hadiah tersebut secara hukum adalah "aset perusahaan." Dasar klaim mereka adalah: tanpa tiket perjalanan dinas yang dibiayai oleh perusahaan, karyawan tersebut tidak akan pernah bisa menghadiri acara Nvidia Roadshow dan, akibatnya, tidak akan pernah memenangkan undian. Oleh karena itu, hadiah tersebut dianggap sebagai hasil dari investasi dan fasilitas yang diberikan perusahaan.

Anak magang tersebut, yang merasa tuntutan itu tidak masuk akal, menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Ia berargumen bahwa memenangkan undian adalah hasil dari keberuntungan pribadinya semata, bukan bagian dari tugas pekerjaan yang telah ditentukan atau produk dari kinerja yang ia berikan selama di perusahaan.

Ultimatum dan Keputusan Tegas untuk Mundur

Situasi dengan cepat memanas dan menjadi tegang. Petinggi perusahaan turun tangan, mencecar si anak magang dengan tekanan psikologis. Puncaknya, staf HR mengeluarkan ultimatum keras: jika anak magang tetap menolak menyerahkan kartu grafis tersebut, ia dipersilakan untuk "mencari perusahaan lain," secara efektif mengancam status magangnya. 

Di bawah tekanan yang tidak etis tersebut, si karyawan magang tidak butuh waktu lama untuk mengambil keputusan. Malam itu juga, ia mengajukan surat pengunduran diri. Ia memilih kehilangan status magangnya, yang mungkin hanya memberikan upah minimum, daripada harus melepaskan hak pribadinya atas barang senilai jutaan rupiah. Ia meninggalkan perusahaan dengan membawa serta Nvidia GeForce RTX 5060 miliknya.

Warganet Membela dan Opini Hukum Menguatkan

Kisah ini dengan cepat menyebar dan menjadi trending topic di media sosial Tiongkok. Reaksi warganet hampir serentak: mayoritas berdiri di belakang anak magang tersebut. Mereka mengecam perusahaan tersebut sebagai entitas yang "serakah" dan "konyol" karena meributkan barang seharga 3.000 yuan dari seorang karyawan level magang.

Salah satu komentar sarkas yang paling banyak mendapat dukungan merangkum keanehan logika perusahaan: "Jika karyawan itu justru kena denda 50.000 yuan karena melanggar lalu lintas saat perjalanan dinas, apakah perusahaan mau bertanggung jawab dan membayarkannya?"

Baca juga: Bos Nvidia ‘Manusia Rp 2.600 Triliun’ Semprot Karyawan yang Enggan Pakai AI

Secara hukum, posisi anak magang ini juga dinilai kuat. Seorang pengacara yang dimintai pendapatnya menegaskan bahwa hadiah yang didapat dari undian atau lotre melekat pada individu yang memenangkan, bukan pada entitas yang mungkin membiayai perjalanannya. Kecuali jika kontrak kerja secara spesifik mencantumkan klausul mengenai "hadiah undian" yang secara eksplisit harus diserahkan kepada perusahaan, manajemen tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menyita barang tersebut.

Insiden ini menjadi pengingat pahit tentang pentingnya batasan etika dalam hubungan kerja. Keputusan berani si anak magang untuk melepaskan kesempatan kerja daripada menyerahkan hak pribadinya disambut sebagai kemenangan moral kecil melawan serakahnya korporasi.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

  •  

Jaminan Netflix Usai Akuisisi $82,7 M: Film Warner Bros Tetap Tayang di Bioskop

Foto: Gemini

Teknologi.id – Netflix, raksasa streaming global, berada di ambang salah satu kesepakatan terbesar dalam sejarah media: akuisisi studio legendaris Warner Bros. dengan nilai yang dikabarkan mencapai $82,7 miliar. Di tengah kekhawatiran yang meluas di kalangan pemilik bioskop dan pelaku industri film tradisional, Co-CEO Netflix, Ted Sarandos, secara publik menegaskan komitmennya bahwa film-film Warner Bros. akan tetap memiliki jadwal rilis di bioskop meskipun kepemilikan telah berpindah tangan.

Pernyataan ini, yang disampaikan dalam konferensi dengan investor pada hari Jumat, mencoba meredakan ketegangan yang muncul sejak kabar akuisisi Netflix terhadap Warner Bros. Discovery (WBD) mencuat ke permukaan. Namun, jaminan Netflix datang dengan catatan penting: model perilisan tradisional—terutama exclusive theatrical window yang panjang—dinilai "sudah tidak lagi ramah bagi konsumen", mengisyaratkan bahwa perubahan besar dalam strategi distribusi film tidak dapat dielakkan.

Baca juga: Netflix Resmi Akuisisi Raksasa Streaming WarnerBros dengan Harga Rp 1.380 Triliun!

Komitmen Jangka Pendek dan Fleksibilitas Jangka Panjang

Sarandos menjelaskan bahwa komitmen Netflix untuk mempertahankan sistem Warner Bros. yang sudah berjalan adalah langkah awal yang strategis. Ini mencakup penghormatan terhadap siklus perilisan film yang dimulai dari penayangan di layar lebar. Ia menekankan bahwa Netflix sendiri bukanlah musuh bioskop; sepanjang tahun 2025 saja, Netflix telah merilis sekitar 30 film di bioskop.

Namun, yang membedakan Netflix dari studio tradisional adalah durasi penayangan. Film-film Netflix di bioskop biasanya memiliki window yang jauh lebih singkat sebelum berpindah ke platform streaming. Hal ini sejalan dengan pandangan Sarandos bahwa "jendela" penayangan harus berevolusi menjadi lebih fleksibel. Evolusi ini bertujuan agar penonton dapat menikmati film favorit mereka lebih cepat melalui platform pilihan, daripada harus menunggu berbulan-bulan setelah film turun layar dari bioskop.

"Kami tidak menentang penayangan film di layar lebar," ujar Sarandos. "Namun, kami percaya bahwa window eksklusif yang terlalu panjang adalah sistem yang ketinggalan zaman dan tidak efisien dalam melayani konsumen modern yang menuntut akses instan."

Foto: Sean O’Kane

Model Bisnis Netflix yang Kontroversial

Netflix selama ini dikenal dengan model bisnisnya yang mengutamakan perilisan langsung di layanan streaming. Penayangan di bioskop, seperti yang terjadi pada film-film kandidat penghargaan seperti Jay Kelly, Frankenstein karya Guillermo del Toro, atau A House of Dynamite garapan Kathryn Bigelow, seringkali hanya bersifat terbatas dan bertujuan untuk memenuhi persyaratan festival atau ajang penghargaan (seperti Oscar). Bahkan, Netflix juga mengoperasikan dan memiliki beberapa bioskop bersejarah, termasuk Paris Theater di New York dan Egyptian Theatre di Los Angeles, yang secara teknis mendukung klaim mereka tentang dukungan terhadap layar lebar, meskipun skalanya kecil.

Tahun depan, ambisi Netflix di bioskop akan semakin jelas dengan rencana merilis film besar seperti Narnia: The Magician's Nephew karya Greta Gerwig di jaringan IMAX. Aksi ini menunjukkan bahwa Netflix mengakui nilai pengalaman sinematik yang premium, namun tetap memegang kendali penuh atas durasi dan waktu transisi ke streaming.

Reaksi Keras dari Industri Bioskop

Meskipun Netflix menjanjikan akan menghormati kesepakatan teater Warner Bros., reaksi dari para pelaku industri bioskop sangat skeptis dan cenderung negatif.

Kelompok pameran film terbesar di AS, Cinema United, segera menyatakan kekhawatiran besar. Mereka menilai akuisisi ini dapat menjadi ancaman eksistensial bagi masa depan bisnis bioskop, baik jaringan besar maupun teater independen yang sangat bergantung pada jadwal rilis studio besar. Cinema United berpendapat bahwa model bisnis utama Netflix tidak secara inheren mendukung keberlangsungan penayangan teater karena fokus utamanya adalah memindahkan konten secepat mungkin ke layanan langganan. Mereka bahkan mendesak regulator untuk mengkaji dampak akuisisi ini secara serius, mempertimbangkan potensi monopoli konten yang dapat menekan nilai pengalaman layar lebar.

Kekhawatiran para pemilik bioskop ini semakin diperkuat oleh pernyataan Sarandos tahun lalu, yang sempat menyebut bahwa sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses mudah menuju bioskop. Komentar tersebut dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk meremehkan nilai pengalaman menonton kolektif di layar lebar, yang merupakan inti dari budaya bioskop.

Baca juga: Kalender Bioskop 2026: Dominasi Sekuel, Live-Action, dan Comeback Ikonik!

Masa Depan yang Tak Terhindarkan

Dengan kekayaan intelektual (IP) yang masif dari Warner Bros, seperti semesta DC, Harry Potter, dan Lord of the Rings, di tangan Netflix, masa depan distribusi film berada di persimpangan jalan. Warner Bros. selama ini merupakan salah satu studio yang paling berkomitmen pada jadwal theatrical window tradisional. Jika Netflix benar-benar menerapkan model perilisan yang lebih fleksibel, studio-studio besar lainnya kemungkinan akan tertekan untuk mengikuti, mempercepat transisi film dari bioskop ke streaming.

Yang pasti, akuisisi senilai $82,7 miliar ini akan mengubah lanskap media selamanya. Komitmen Netflix saat ini mungkin menenangkan pasar dalam jangka pendek, tetapi isyarat kuat tentang perlunya "evolusi" dalam window penayangan menunjukkan bahwa perubahan mendasar dalam cara kita mengonsumsi film akan segera tiba. Industri bioskop harus bersiap untuk beradaptasi dengan era baru, di mana batas antara layar lebar dan layanan streaming menjadi semakin kabur.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

  •  

Gebrakan TikTok: ByteDance Gandeng ZTE, Lahirkan Smartphone AI yang Ludes Instan

Foto: Times Bull

Teknologi.id – Raksasa teknologi yang berbasis di Tiongkok dan pemilik platform global TikTok, ByteDance, telah mengguncang pasar smartphone dengan perilisan perangkat AI pertamanya. Berkolaborasi dengan ZTE, ByteDance meluncurkan sebuah prototipe teknik bernama ZTE Nubia M153 yang mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) secara mendalam, dan hasilnya sungguh fenomenal: ponsel tersebut dilaporkan habis terjual dalam waktu singkat pada hari pertama peluncurannya di Tiongkok.

Peristiwa ini menandai sebuah momen penting di industri teknologi konsumen, menunjukkan pergeseran paradigma yang jelas, di mana nilai jual utama sebuah smartphone tidak lagi terletak pada kekuatan hardware atau desain fisik, melainkan pada kecanggihan dan kemampuan software AI yang tertanam di dalamnya. Keberhasilan kolaborasi antara perusahaan software besar dan produsen hardware ini menjadi bukti terbaru keunggulan Tiongkok dalam memadukan kemampuan AI generatif dengan perangkat genggam.

Antusiasme Konsumen dan Lonjakan Harga Sekunder ZTE Nubia M153, meskipun diposisikan sebagai prototipe teknik dengan ketersediaan terbatas dan hanya tersedia melalui pemesanan online, mendapatkan sambutan yang sangat hangat. Ponsel ini dengan cepat habis terjual pada Senin (1/12) malam, segera setelah diluncurkan. Antusiasme ini didorong oleh keinginan konsumen untuk mencoba perangkat yang diklaim dapat mengubah fundamental cara mereka menggunakan ponsel.

Prototipe ini dibanderol dengan harga yang relatif premium untuk sebuah prototipe, yakni 3.499 yuan (sekitar Rp8,2 juta). Namun, kelangkaan pasokan segera memicu gejolak harga di pasar sekunder. Di Xianyu, pasar loak online milik Alibaba Group Holding, ponsel tersebut dijual kembali dengan harga mencapai 4.999 yuan, melonjak tajam hingga 43 persen di atas harga aslinya. Lonjakan harga yang signifikan ini bukan sekadar cerminan kelangkaan, tetapi juga indikasi kuat bahwa pasar bersedia membayar mahal untuk inovasi AI yang terintegrasi penuh.

ByteDance dan ZTE tidak merilis detail jumlah unit yang tersedia untuk dibeli, namun respons pasar memaksa layanan pelanggan untuk meminta pembeli mengajukan permintaan jumlah ponsel yang ingin dibeli, menyiratkan bahwa produksi selanjutnya akan disesuaikan secara dinamis berdasarkan permintaan pasar yang melonjak.

Baca juga: TikTok Hadirkan Fitur Nearby Feed, Pengguna Kini Bisa Jelajahi Konten Lokal

Foto: SCMP

Doubao: Kekuatan AI di Tingkat Sistem Operasi

Kunci sukses utama dari Nubia M153 adalah Doubao, asisten mobile AI interaktif yang dikembangkan oleh ByteDance dan diintegrasikan langsung pada tingkat sistem operasi. Integrasi mendalam ini memungkinkan Doubao untuk melampaui kemampuan asisten suara tradisional, menjadikannya mitra digital yang benar-benar cerdas dan kontekstual.

Demonstrasi video menunjukkan kemampuan Doubao yang sangat canggih dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari:

  • Pemesanan dan Layanan Cerdas: Doubao dapat melakukan tugas praktis seperti memesan restoran atau layanan lain hanya melalui perintah suara, tanpa pengguna harus membuka dan menavigasi berbagai aplikasi secara manual.
  • Pengeditan Gambar Real-Time: Asisten ini mampu melakukan manipulasi visual, seperti menghapus pejalan kaki yang tidak diinginkan dari sebuah foto, sebuah fungsi yang biasanya memerlukan perangkat lunak pengeditan khusus.
  • Perbandingan Belanja Otomatis: Doubao dapat mengidentifikasi harga terendah untuk produk yang sama di berbagai aplikasi belanja yang berbeda, dan bahkan menginisiasi proses pembelian setelah mendapatkan persetujuan pengguna.
  • Pemahaman Visual: Doubao mampu menceritakan narasi atau konteks dari sebuah gambar yang dilihatnya, menunjukkan pemahaman konteks yang lebih mendalam dibandingkan pengenalan objek biasa.

Fungsionalitas ini menempatkan Doubao sebagai perwujudan nyata dari konsep AI companion di perangkat seluler, sebuah janji yang telah lama diusung oleh industri teknologi. 

Pergeseran Fokus: Software Mengalahkan Hardware

Kolaborasi ByteDance dan ZTE ini menandai momen penting dalam sejarah pemasaran smartphone. Untuk pertama kalinya, poin penjualan utama sebuah perangkat baru adalah perangkat lunaknya. ZTE, yang sebelumnya berbasis di Shenzhen, telah berjuang untuk mempertahankan relevansinya di pasar smartphone yang didominasi oleh merek-merek besar. Namun, kemitraannya dengan raksasa software seperti ByteDance telah memberikan angin segar, membuktikan bahwa inovasi AI dapat menjadi katalis kebangkitan kembali.

Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumen mulai memprioritaskan pengalaman pengguna yang didukung AI revolusioner dibandingkan peningkatan spesifikasi kamera atau kecepatan chip yang inkremental. Pasar kini berfokus pada seberapa cerdas dan efisien ponsel dapat membantu kehidupan penggunanya.

Baca juga: ByteDance Rilis Seedream 4.0: AI Multimodal Open-Source Penantang Google Nano Banana

Tantangan ke Depan Bagi ByteDance

Meskipun sukses di hari pertama, analis industri menyoroti tantangan besar yang dihadapi ByteDance. Morgan Stanley, dalam laporannya, menyebutkan prospek asisten AI ByteDance "terlihat menantang."

Alasannya terletak pada integrasi AI di tingkat sistem operasi yang justru dapat "melemahkan daya tawar produsen perangkat asli (OEM) dalam rantai pasokan." Perusahaan smartphone besar dengan kemampuan teknologi kuat, seperti Apple (dengan Apple Intelligence), Huawei, dan Xiaomi, cenderung akan mengembangkan asisten AI mereka sendiri secara mandiri daripada bermitra dengan entitas luar.

Manajer Riset IDC China, Guo Tianxiang, juga sepakat, memprediksi bahwa ByteDance akan kesulitan membentuk kolaborasi mendalam dengan produsen smartphone besar. Dengan demikian, ByteDance mungkin akan terbatas hanya mendukung produsen yang lebih kecil, seperti ZTE Nubia, yang secara tradisional belum pernah masuk ke dalam lima besar pasar lokal.

Namun demikian, debut ZTE Nubia M153 yang laku keras telah menunjukkan kepada dunia bahwa ByteDance adalah pemain serius dalam perlombaan AI mobile. Ini adalah upaya terbarunya untuk menavigasi pasar smartphone, dan meski tantangan dengan OEM (Original Equipment Manufacturer) besar masih menghadang, pasar telah memberikan suara mereka: masa depan smartphone adalah Kecerdasan Buatan.

Baca berita dan artikel lainnya di Google News 

(WN/ZA)

  •  
❌