Reading view

Bapak AI Geoffrey Hinton: Semua Pekerjaan Manusia Dapat Digantikan oleh AI

Foto: CIFAR

Teknologi.id – Perdebatan tentang masa depan pekerjaan di tengah revolusi Kecerdasan Artifisial (AI) mencapai titik kritis. Kali ini, peringatan suram datang dari salah satu sosok paling dihormati di dunia riset AI, Geoffrey Hinton. Ilmuwan komputer asal Inggris yang kerap dijuluki "Bapak AI" ini baru-baru ini memaparkan prediksi yang mengkhawatirkan: semua pekerjaan manusia dapat digantikan oleh AI, sebuah skenario yang berpotensi menjungkirbalikkan tatanan sosial dan ekonomi global menjadi lebih buruk.

Dalam sebuah diskusi dengan Senator Bernie Sanders di Universitas Georgetown, Hinton, yang merupakan pionir di balik teknik deep learning yang mendasari model AI generatif modern, tidak mengubah pendiriannya sejak ia mengundurkan diri dari Google pada tahun 2023. Keputusannya mundur tersebut ia lakukan karena ia menyesali karya hidupnya dan ingin berbicara secara terbuka tentang risiko teknologi yang ia bantu ciptakan.

Mengapa Revolusi AI Berbeda?

Hinton menjelaskan bahwa lonjakan implementasi AI saat ini berbeda secara fundamental dengan revolusi teknologi di masa lalu, seperti era industrialisasi atau digitalisasi awal. Dulu, ketika suatu sektor pekerjaan menghilang karena teknologi baru, pekerjaan-pekerjaan baru dengan kelas dan keterampilan yang berbeda tercipta untuk menampung tenaga kerja yang terdisrupsi.

Namun, menurut Hinton, skenario tersebut tidak akan terjadi di era AI. Ia secara lugas menyatakan: "Orang-orang yang kehilangan pekerjaan tidak akan memiliki pekerjaan lain untuk dituju,". Logika Hinton sederhana: jika AI mencapai tingkat kecerdasan setara atau melampaui manusia—sebuah konsep yang dikenal sebagai Artificial General Intelligence (AGI)—maka pekerjaan apa pun yang mungkin dilakukan oleh manusia dapat dikerjakan dengan lebih efisien, lebih murah, dan tanpa henti oleh AI.

Hinton yang bersama Yoshua Bengio dan Yann LeCun (yang juga dijuluki 'Bapak Baptis' AI) meraih Turing Award pada 2018 atas karya mereka pada jaringan saraf tiruan, kini menjadi suara paling lantang mengenai risiko eksistensial dan ekonomi dari perkembangan teknologi ini.

Kritik Keras Terhadap Miliarder Teknologi

Inti kritik Hinton tidak hanya terletak pada kemampuan teknis AI, tetapi juga pada motivasi ekonomi di baliknya. Ia secara konsisten memperingatkan bahwa industri AI tidak akan mampu meraup keuntungan besar kecuali dengan menggantikan tenaga kerja manusia.

Dalam diskusinya, Hinton menargetkan para miliarder dan pemimpin teknologi yang memimpin perlombaan AI—termasuk nama-nama besar seperti Elon Musk, Mark Zuckerberg, dan Larry Ellison. Menurut Hinton, para pemimpin ini belum benar-benar memikirkan konsekuensi sosial ekonomi yang fatal: jika para pekerja kehilangan pekerjaan dan tidak dibayar, maka tidak ada yang akan membeli produk high-tech mereka. Prediksi ini menyoroti potensi paradoks AI—teknologi yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi pasar justru dapat menghancurkan daya beli konsumen itu sendiri.

Baca juga: Aman dari Robot dan AI: 8 Karier yang Tetap Eksis di Era Digital

Jeda Menuju AGI Semakin Singkat

Kekhawatiran Hinton diperparah oleh keyakinannya bahwa pencapaian Artificial General Intelligence (AGI)—sistem AI hipotetis yang memiliki tingkat kecerdasan setara atau melebihi manusia yang mampu melakukan berbagai macam tugas—sudah semakin dekat. Ini adalah target yang saat ini mati-matian dikejar oleh industri AI.

Perkiraan waktu yang ia berikan pun terus menyusut. Pada tahun 2023, Hinton sempat memprediksi bahwa AGI mungkin membutuhkan waktu sekitar 20 hingga 50 tahun. Namun, kini ia merevisi pandangannya secara drastis: "Saya pikir mungkin 20 tahun atau kurang,". Jika perkiraan ini benar, dampaknya pada pasar kerja global akan terjadi dalam kurun waktu dua dekade, memaksa negara-negara untuk segera merumuskan kebijakan sosial baru.

Ia bahkan menambahkan klaim yang mengejutkan: model AI terbaru saat ini, seperti GPT-5 dari OpenAI, sudah tahu ribuan kali lebih banyak dari manusia. Meskipun model-model ini belum memiliki kecerdasan yang terintegrasi (seperti manusia), basis pengetahuan masif mereka adalah fondasi yang siap untuk menguasai berbagai tugas berbasis informasi.

Meskipun demikian, ada secercah harapan: hingga saat ini, banyak upaya untuk menggantikan pekerja dengan agen AI di lapangan, termasuk dalam peran dukungan pelanggan (customer support) yang diprediksi paling rentan, seringkali gagal. Ini menunjukkan bahwa, untuk saat ini, menggantikan pekerjaan bergaji rendah sekalipun tidak semudah yang diasumsikan teknologi, terutama karena faktor interaksi manusia, empati, dan pemecahan masalah yang tidak terstruktur.

Peringatan Geoffrey Hinton ini berfungsi sebagai pengingat yang menyengat bagi para pembuat kebijakan dan pemimpin bisnis di seluruh dunia. Perlombaan menuju AGI tidak hanya membawa janji kemajuan teknologi, tetapi juga potensi risiko pengangguran massal yang memerlukan skema sosial ekonomi baru yang radikal, jauh sebelum AI sepenuhnya menggantikan peran manusia.

Baca juga: World Robot Olympiad: Panggung Pelajar Global Pamerkan Talenta Robotika

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

  •  

Indonesia Kebut Riset 6G: BRIN Kembangkan Teknologi Sub-THz dan Cloud Cerdas

Foto: 6G BRICKS

Teknologi.id – Indonesia tidak ingin tertinggal dalam perlombaan telekomunikasi global menuju generasi keenam (6G). Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kini menjadi garda terdepan, secara aktif mengembangkan dua pilar teknologi kunci yang digadang-gadang akan menjadi fondasi utama bagi sistem komunikasi ultra-cepat generasi mendatang: perangkat sub-terahertz (sub-THz) berbasis optikal dan arsitektur jaringan cloud cerdas.

Pengembangan ini merupakan respons terhadap prediksi eksplosif kebutuhan data. Peneliti Pusat Riset Telekomunikasi BRIN, Ken Paramayudha, menjelaskan bahwa teknologi telekomunikasi akan terus berevolusi hingga 6G, di mana kebutuhan akan kecepatan data diproyeksikan melonjak hingga seratus kali lebih cepat dibandingkan dengan generasi 5G. Lompatan kuantum ini menuntut inovasi radikal, terutama dalam pemanfaatan spektrum frekuensi baru dan kecerdasan jaringan.

Inovasi Spektrum Sub-Terahertz (Sub-THz)

Spektrum Sub-Terahertz (frekuensi di atas 100 GHz hingga 300 GHz) merupakan kandidat kuat untuk mewujudkan janji kecepatan ultra-tinggi 6G karena menawarkan lebar pita (bandwidth) yang masif. Namun, tantangan terbesarnya adalah membangun perangkat yang mampu menghasilkan sinyal pada frekuensi setinggi itu secara stabil dan efisien di lingkungan praktis.

Tim peneliti BRIN mengatasi tantangan ini dengan menggunakan pendekatan difference frequency generation (DFG). Pendekatan ini memanfaatkan material optik non-linear yang diintegrasikan secara presisi ke dalam rectangular waveguide. Inovasi ini memungkinkan perangkat untuk menghasilkan continuous wave signal secara stabil pada temperatur ruangan. Praktikalitas ini sangat krusial untuk implementasi industri di masa depan.

Dalam riset awal yang dilakukan, BRIN berhasil menunjukkan capaian signifikan: perangkat tersebut sukses memproduksi sinyal hingga frekuensi 100 GHz. Keberhasilan memproduksi sinyal pada frekuensi ini membuka peluang lebar untuk berbagai aplikasi ultra-cepat, antara lain:

  • High-speed optical-electrical conversion: Mengubah sinyal optik berkecepatan tinggi menjadi sinyal listrik.
  • Transmitter radio berbasis serat optik: Untuk pengiriman data dengan kecepatan masif melalui jaringan serat optik.
  • Komunikasi berkecepatan tinggi di lingkungan dengan kepadatan trafik data yang ekstrem.

Integrasi teknologi fotonik dan microwave melalui desain resonansi dan simulasi CST lebih lanjut meningkatkan efisiensi penguatan sinyal, memposisikan riset BRIN sejajar dengan tren global dalam eksplorasi spektrum THz untuk Beyond 5G.

Baca Juga: Cara Cek Rumah Masuk Jangkauan Internet Rakyat 100 Mbps Rp100 Ribu

Foto: BRIN

Jaringan Cloud Cerdas dan Deep Reinforcement Learning (DRL)

Komunikasi 6G tidak hanya menuntut kecepatan, tetapi juga kecerdasan dan fleksibilitas jaringan yang belum pernah ada. Pilar kedua riset BRIN berfokus pada arsitektur jaringan cloud cerdas yang akan menjadi tulang punggung sistem 6G.

Arief Indra Irawan, seorang PhD student yang terlibat dalam riset ini, menyoroti tantangan komunikasi cloud intelijen. Ia menekankan bahwa 6G akan menuntut konektivitas full-dimensional multi-access, yang mencakup integrasi tanpa batas antara komunikasi darat, udara (drone), dan satelit. Agar integrasi yang kompleks ini berjalan mulus, keputusan jaringan harus bersifat adaptif dan cerdas.

Teknologi kunci yang didorong dalam pengembangan jaringan ini adalah Deep Reinforcement Learning (DRL). DRL adalah algoritma Kecerdasan Buatan (AI) yang memungkinkan jaringan untuk melakukan optimasi jangka panjang berdasarkan lingkungan operasional dan kondisi trafik yang berubah secara real-time.

Pemanfaatan DRL akan memungkinkan jaringan 6G untuk:

  1. Penempatan Fungsi Layanan Otomatis: Secara cerdas menentukan lokasi fungsi layanan (seperti caching atau processing) demi efisiensi.
  2. Optimasi Jalur Komunikasi: Mengoptimalkan jalur komunikasi secara dinamis melintasi berbagai domain (darat, udara, satelit).
  3. Efisiensi dan Keamanan: Menjaga efisiensi pemrosesan data sambil memastikan keamanan data (privacy processing) dalam service function chaining (SFC).

Baca Juga: Elon Musk Gratiskan Internet Starlink untuk Korban Banjir Sumatera

Prospek Indonesia dalam Ekosistem Global 6G

Kombinasi antara riset perangkat keras sub-terahertz dan pengembangan arsitektur jaringan cloud cerdas merupakan langkah strategis bagi Indonesia. Alih-alih hanya menunggu dan menjadi konsumen ketika teknologi 6G matang di rentang tahun 2030-2035, BRIN berupaya memposisikan Indonesia sebagai negara yang turut berkontribusi dalam pengembangan teknologi intinya.

Inovasi material, integrasi fotonik-microwave, virtualisasi, dan kecerdasan jaringan (network intelligence) adalah empat pilar yang diyakini BRIN akan mendefinisikan masa depan telekomunikasi. Dengan dukungan riset yang berkelanjutan ini, Indonesia memperkuat fondasi riset dan inovasi nasional agar siap secara teknologi dan kebijakan saat dunia memasuki babak komunikasi ultra-cepat 6G.

Baca Juga: Satria-1 & Starlink Dikerahkan Pulihkan Komunikasi Banjir Aceh–Sumatera

Baca berita dan artikel lainnya di Google News

(WN/ZA)

  •  

Data Pengguna API ChatGPT Bocor akibat Celah Mixpanel, OpenAI Beri Klarifikasi

Foto: Shutterstock

Teknologi.id – Insiden keamanan siber telah mengguncang perusahaan teknologi terkemuka, OpenAI, pencipta dari chatbot ternama, ChatGPT. Pada akhir November 2025, perusahaan tersebut mengonfirmasi bahwa data identifikasi sejumlah penggunanya telah terekspos, termasuk nama dan alamat email. Namun, alih-alih berasal dari serangan langsung ke sistem inti ChatGPT atau infrastruktur riset AI mereka, celah keamanan ini justru berasal dari ranah back-end yang kurang diperhatikan: penyedia analitik data pihak ketiga, Mixpanel

Klarifikasi dari OpenAI melalui blog resminya membedakan insiden ini dari kebocoran besar lainnya. Mereka menekankan bahwa hacker tidak menembus benteng pertahanan utama OpenAI, melainkan mengeksploitasi kerentanan pada Mixpanel melalui kampanye phishing SMS yang terdeteksi sejak 8 November 2025. Meskipun OpenAI baru menerima laporan penuh insiden ini pada 25 November, perusahaan segera mengumumkan dan mengambil tindakan pencegahan keesokan harinya, menyoroti pentingnya rantai pasokan digital yang aman.

Foto: openai.com

Siapa yang Terdampak dan Apa yang Hilang?

Detail mengenai cakupan insiden ini sangat spesifik. OpenAI menegaskan bahwa mayoritas pengguna harian ChatGPT (yang menggunakan antarmuka web atau aplikasi) tidak terpengaruh. Kebocoran ini secara eksklusif berfokus pada pengguna yang memiliki akun untuk mengakses platform API OpenAI yaitu para developer, perusahaan, dan organisasi yang mengintegrasikan model AI ke dalam aplikasi atau layanan mereka. Dalam upaya meyakinkan komunitas developer dan korporasi, OpenAI secara eksplisit mencantumkan data krusial yang aman: "Tidak ada chat, permintaan API, data penggunaan API, password, kredensial, kunci API, detail pembayaran, atau kartu tanda identitas yang disusupi atau terekspos,".

Namun, data yang jatuh ke tangan hacker dari Mixpanel—yang merupakan data identifikasi dasar—meliputi:

  • Nama dan alamat email.
  • Informasi teknis seperti sistem operasi, browser yang digunakan, dan lokasi umum pengguna.
  • Referring website (situs web yang mengarahkan pengguna).
  • ID organisasi atau ID pengguna yang terhubung dengan akun API.

  • Baca juga: 
    Cara Mengoptimalkan Konten Chat GPT untuk SEO

    Foto: Cybercrime Magazine

    Ancaman Nyata: Phishing yang Lebih Bertarget

    Meskipun OpenAI menyarankan bahwa reset password atau pembuatan kunci API baru tidak diperlukan, potensi risiko dari data yang terekspos ini tidak bisa dianggap remeh. Nama dan alamat email pengguna API adalah bahan bakar premium untuk serangan phishing dan rekayasa sosial (social engineering) yang sangat canggih dan bertarget.

    Para hacker kini memiliki informasi yang cukup untuk menyusun email penipuan yang terlihat sangat sah. Dengan mengetahui bahwa target adalah pengguna API OpenAI dari organisasi tertentu, hacker dapat membuat email yang berpura-pura menjadi peringatan keamanan atau update sistem dari OpenAI atau Mixpanel. Tujuan akhirnya adalah mencuri kredensial atau kunci API yang sensitif, yang merupakan master key untuk akses dan kontrol layanan AI korban.

    OpenAI merespons risiko ini dengan mendesak pengguna untuk meningkatkan pertahanan diri. Saran utama adalah mengaktifkan 2FA (Two-Factor Authentication)—sebuah langkah yang menciptakan lapisan keamanan ganda—dan selalu melakukan verifikasi sumber (domain resmi) sebelum mengklik tautan atau mengunduh lampiran apapun.

    Baca juga: Riset Terbaru Ungkap iPhone Lebih Rentan Kena Serangan Phising Dibanding Android

    Memetik Pelajaran dari Rantai Pasokan Digital

    Insiden ini menyoroti pelajaran penting tentang supply chain security di era AI dan cloud. Setiap layanan pihak ketiga yang diintegrasikan untuk analitik, pemasaran, atau fungsi back-end lainnya secara otomatis menjadi mata rantai terlemah dalam keamanan data sebuah perusahaan. Meskipun OpenAI memiliki keamanan inti yang kuat, mereka hanya sekuat vendor yang mereka gunakan.

    Sebagai tanggapan, OpenAI segera mengambil tindakan drastis, yaitu menghapus Mixpanel dari layanan produksinya dan mengumumkan investigasi internal yang menyeluruh. Langkah ini menunjukkan pengakuan perusahaan atas risiko yang ditimbulkan oleh mitra eksternal.

    Kasus ini menjadi peringatan bagi seluruh ekosistem teknologi: di tengah persaingan untuk mengintegrasikan layanan pihak ketiga demi efisiensi, risiko keamanan yang mereka bawa harus dikelola dengan mitigasi yang sangat ketat. Pertahanan terbaik saat ini adalah adopsi 2FA yang universal dan kesadaran tinggi pengguna API terhadap upaya rekayasa sosial yang semakin terpersonalisasi.

    Baca juga: Hati-hati! Modus Penipuan Share Screen WhatsApp Bisa Bobol Rekening

    Baca berita dan artikel lainnya di Google News

    (WN/ZA)

    •  

    Satria-1 & Starlink Dikerahkan Pulihkan Komunikasi Banjir Aceh–Sumatera

    Foto: RRI

    Teknologi.id – Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) telah memicu krisis kemanusiaan dan konektivitas. Untuk mempercepat pemulihan jaringan telekomunikasi vital di daerah terdampak, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengumumkan pengerahan sumber daya digital maksimal, melibatkan satelit pemerintah Satria-1 dan layanan internet satelit global, Starlink.

    Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, mengungkapkan bahwa upaya ini merupakan bagian dari koordinasi multi-pihak yang intensif, melibatkan Komdigi, operator seluler, dan penyedia layanan satelit. Tujuannya adalah memastikan masyarakat di zona bencana dapat segera kembali berkomunikasi dengan keluarga dan mengakses informasi penting, sebuah kebutuhan mendasar dan esensial dalam situasi darurat. Percepatan pemulihan akses komunikasi ini menjadi prioritas utama pemerintah daerah dan pusat.

    Baca juga: Elon Musk Gratiskan Internet Starlink untuk Korban Banjir Sumatera

    Pengerahan Satelit Sebagai Solusi Cepat

    Dalam situasi bencana alam, infrastruktur darat seperti menara Base Transceiver Station (BTS) dan kabel backbone rentan mengalami kerusakan akibat longsor, putusnya jembatan, atau banjir. Oleh karena itu, satelit menjadi solusi tercepat untuk menghadirkan konektivitas di lokasi terpencil atau yang infrastruktur daratnya lumpuh total.

    Komdigi secara resmi mengerahkan Satelit Republik Indonesia (Satria-1), satelit multifungsi milik pemerintah, untuk menyediakan akses telekomunikasi darurat. Pemanfaatan Satria-1 dalam penanganan bencana ini menunjukkan pentingnya investasi pemerintah dalam infrastruktur angkasa untuk kepentingan publik dan mitigasi bencana.

    Selain itu, Menkomdigi juga menekankan adanya koordinasi erat dengan penyelenggara layanan satelit swasta. Pihak-pihak seperti Starlink (layanan internet satelit milik SpaceX) dan PSN juga diminta untuk memperkuat downlink satelit di titik-titik yang paling terdampak bencana.

    Kerja sama ini diperkuat dengan fakta bahwa sebelumnya Starlink telah menunjukkan inisiatif dengan menggratiskan akses internet selama 30 hari penuh bagi seluruh pelanggannya yang terdampak banjir besar di Provinsi Sumatra. Sinergi antara satelit pemerintah dan penyedia layanan global ini menjadi model disaster response yang efektif di Indonesia.

    Baca juga: Starlink dan Samsung Kembangkan Internet Langsung ke Satelit Tanpa Menara BTS

    Foto: JawaPos

    Progres Pemulihan Jaringan: 707 BTS Hidup Kembali

    Komdigi juga merilis data terperinci mengenai perkembangan pemulihan jaringan di tiga provinsi tersebut, menunjukkan progres yang signifikan berkat kerja keras tim teknis gabungan:

  • Data yang dirilis per Sabtu (29/11/2025) pukul 00.00 WIB menunjukkan capaian positif:
  • Kondisi Awal: Pada Jumat (28/11/2025) pukul 07.00 WIB, sebanyak 2.463 menara (site) BTS dilaporkan mengalami gangguan akibat bencana.
  • Progres 24 Jam: Dalam 24 jam terakhir, sebanyak 707 menara telah berhasil dipulihkan dan kembali beroperasi normal.
  • Menara Sisa Gangguan: Saat ini, masih tersisa 1.756 menara yang berada dalam proses pemulihan lebih lanjut.

  • Pemulihan menara yang telah beroperasi normal tersebar di wilayah terdampak sebagai berikut: Aceh (564 menara), Sumatra Utara (112 menara), dan Sumatra Barat (31 menara). Sisa menara yang masih mengalami gangguan tersebar di Aceh (975 dari 3.414 menara), Sumatra Utara (707 dari 9.612 menara), dan Sumatra Barat (74 dari 3.739 menara).

    Selain menara BTS, masalah vital lainnya adalah terputusnya jalur backbone utama yang membawa lalu lintas data dan suara dalam volume besar. Komdigi berkoordinasi erat dengan operator seluler utama seperti Telkom dan Telkomsel untuk memulihkan kerusakan infrastruktur fisik ini.

    Berita baiknya, jalur backbone di Sumatra Utara yang menghubungkan ruas Rantau-Padang Sidempuan dan ruas Sibolga-Barus-Manduamas telah berhasil dipulihkan dari kerusakan akibat longsor. Demikian pula, jalur backbone di Aceh pada ruas Banda Aceh-Bireun dan Samalanga juga dilaporkan telah pulih sepenuhnya dan beroperasi kembali.

    Pemulihan jalur backbone ini sangat menentukan, karena ini adalah urat nadi komunikasi yang memungkinkan ribuan BTS lainnya dapat berfungsi kembali. Upaya percepatan pemulihan ini diharapkan dapat terus dilakukan setiap hari, seperti yang diungkapkan oleh Menkomdigi, demi memulihkan akses komunikasi secepatnya bagi masyarakat yang terdampak bencana.

    Keterlibatan aktif Satria-1 dan Starlink dalam krisis ini menunjukkan evolusi dalam strategi tanggap bencana digital Indonesia, di mana kolaborasi lintas sektor dan pemanfaatan teknologi satelit menjadi kunci utama untuk menjamin akses informasi di tengah kondisi terburuk.

    Baca juga: Elon Musk Gratiskan Internet Starlink untuk Korban Banjir Sumatera

    Baca berita dan artikel lainnya di Google News

    (WN/ZA)

    •  
    ❌